oleh Destriyadi Imam Nuryaddin
Cerita rakyat warisan leluhur dalam bentuk lisan yang merepresentasikan aktivitas masyarakat kolektifnya pada masa dahulu. Sekiranya kita sulit memperkirakan kapan, setidaknya kita bisa menduga bagaimana masyarakat bertahan pada masa dahulu. Warisan ini sejatinya masih bersama orang-orang yang sempat mewarisi cerita tersebut dari keluarga atau penutur lainnya. Harta yang memiliki nilai tinggi ini, nyatanya menyimpan hal-hal yang menarik untuk diselami lebih dalam.
Anasir-anasir ekologi dalam cerita rakyat merupakan salah satu dari anasir lainnya yang dihadirkan empunya cerita. Antara ekologi dan sastra merupakan disiplin ilmu yang berbeda, tetapi jika ditilik dalam ceruk teks sastra lisan keduanya saling bias. Sastra bukan sebagai produk perubahan lingkungan, tetapi sebagai rekaman keberadaan atau pemanfaatan lingkungan oleh masyarakat kolektifnya. Cukup jelas bagi kita, ada hubungan yang erat antara manusia dengan lingkungan yang ditempatinya. Manusia yang diwakilkan tokoh-tokoh dalam cerita memanfaatkan tanah untuk berkebun, memanfaatkan laut untuk melaut, meramu berbagai jenis tumbuhan untuk obat-obatan atau pengolahan lainnya. Tidak lain aktivitas itu untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Keterbatasan geografis harus disiasati manusia-manusia Natuna. Adanya keterbatasan bahan-bahan pokok memaksa mereka mencari bahan alternatif sebagai konsumsi utama. Gugusan tiap pulaunya yang berjarak cukup jauh jadi salah satu faktor masyarakat bergantung pada lingkungan. Sebab masyarakat tidak dapat berharap penuh pada distribusi barang dari luar pulau. Di sini masyarakat ditempa untuk menemukan sumber-sumber baru, olahan-olahan baru, cara konsumsi dan bertahan hidup yang baru.
Sumber konsumsi baru dalam roda pangan masyarakat Natuna adalah memburu kekah. Sebagai primata, kekah diketahui hanya berhabitat di hutan-hutan Natuna. Tidak dapat disangkal, kekah berkeliaran dan hidup berdampingan dengan masyarakat pada masa itu. Walaupun memang persebarannya terbatas pada pulau Bunguran saja. Hewan yang dikenal dengan nama ilmiah sebagai Presbitys Natunae ini memang bukan hewan yang memiliki perlawanan atau hewan yang menakutkan, sehingga pemburu tidak begitu sulit untuk menaklukkannya. Mungkin sebab itu juga, habitatnya yang tidak sulit ditemukan dan jumlahnya masih terbilang banyak, menjadi alternatif lain. Aktivitas ini nampaknya pada masa-masa tertentu menjadi habitus di masyarakat.
Kita tidak bisa menggolongkan semua kelas di masyarakat pada masa itu pasti mengonsumsi kekah. Kita tidak juga bisa memastikan bahwa sumber makanan satu-satunya hanyalah kekah. Celah inilah yang memerlukan rekaman dari cerita rakyat. Salah satunya dalam Asal-usul Batu Gerun yang mengisahkan kehidupan seorang anak yang durhaka kepada ibunya. Pasalnya, suami dari anaknya ini yang merupakan saudagar kaya dari negeri lain tersebut baru mengetahui bahwa ibunya membawa panggang kekah kesukaan si anak. Panggang kekah jadi menu sehari-hari selain sagu dan hasil kebun lainnya. Dengan begitu juga masyarakat yang mengonsumsi panggang kekah hanyalah orang-orang susah dan miskin belaka. Memberikan panggang kekah pula berlaku sebagai hinaan untuk mereka yang secara status lebih tinggi dari orang-orang kampung. Artinya, kekah lebih akrab dengan masyarakat yang hidup sederhana.
Jelas juga cerita rakyat Asal-usul Batu Sekalong menggambarkan kekah sebagai hewan hinaan. Ketika pinangan Datuk Monyang Beni ditampik, pihaknya mengirimkan panggang kekah ke pihak Datuk Molek. Ia mengatakan bahwa panggang kekah adalah makanan bagi orang yang tinggal di semak-semak. Namun, tampaknya kekah berjasa besar dalam kelangsungan hidup manusia-manusia Natuna pada masanya. Jelas, kekah diburu dengan alasan untuk bertahan hidup di tengah keterbatasan sumber-sumber konsumsi.
Satu lagi cerita rakyat yang dapat dilihat kehadiran kekah. Cerita Asal-usul Tari Topeng mengisahkan dua kelompok sosial yang berbeda kelas. Anak raja dari suatu kerajaan di negeri tersebut sedang menderita sakit yang tabib negeri pun tidak tahu sakit apa. Satu-satunya obat hanyalah hiburan. Raja memerintah Panglima untuk mencari hiburan. Panglima yang lebih sering pergi berburu itu menemukan sebuah kampung di gunung. Orang-orang kampung di gunung itu sering memakan kera dan kekah untuk bertahan hidup. Setelah diperintahkan oleh Panglima, orang-orang kampung tersebut harus menghibur tuan putri. Karena malu, mereka membuat topeng berbentuk laki-laki, perempuan. Karena memiliki kedekatan dan bagian dari kehidupan, mereka juga menggambar kekah dan kera. Hubungan erat antara manusia dengan lingkungan ini hanya dapat dilakukan dan dirasakan oleh mereka yang benar-benar hidup berdampingan. Sampai sekarang tari topeng masih dapat kita jumpai, tentunya dengan topeng kekah sekalian.
Jika dalam cerita rakyat tokoh-tokoh diperistiwakan memilih mengonsumsi kekah karena kehidupan yang sederhana atau lebih tepatnya susah, berbeda pada saat ini. Aktivitas memburu bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan santapan untuk keluarga, melainkan memenuhi nafsu. Alasan keterbatasan geografis rasanya sudah tidak relevan lagi seperti hubungannya dalam cerita rakyat. Walaupun pulau Natuna berada paling Utara, namun distribusi pangan tetap berlangsung dari waktu ke waktu. Sehingga praktik memburu kekah sebagai komoditi adalah satu alternatif yang buruk. Urusannya bukan lagi pada memanfaatkan alam untuk kebutuhan, tetapi sudah pada taraf ekspoitasi alam, dalam hal ini lingkungan, untuk memenuhi kebutuhan pasar gelap.
Alasan kesadaran masyarakat dalam cerita rakyat jelas, bahwa mereka tidak sanggup untuk membeli bahan-bahan makanan dari luar pulau, makanya mereka berkebun dan pilihan lainnya adalah mengonsumsi kekah. Tetapi kembali lagi, masyarakat modern saat ini nampaknya tidak peduli akan dampak ekologi dan keberadaan kekah yang sudah rawan itu. Padahal mereka sanggup untuk mengonsumsi ayam, ikan melimpah, dan lainnya. Berbeda zaman, sudah berbeda pula cara hidupnya.
Pengaruh lain yang mengganggu habitat kekah adalah rusaknya hutan sebagai rumah mereka yang dijadikan kebun oleh masyarakat. Sepanjang waktu, hampir mereka hidup di pohon. Mereka tidak memiliki kemampuan menyerang, walaupun sebenarnya mereka memiliki taring. Kehadiran manusia akan membuat mereka refleks untuk menghindar.
Kekah sebagai makhluk juga pandai berkontribusi terhadap keberlangsungan kehidupan lingkungan. Mereka juga disebut sebagai hewan tani yang berfungsi menyebarkan benih berbagai jenis. Benih-benih ini berasal dari sisa makanan yang mereka konsumsi. Mereka membuang ke tempat-tempat tertentu yang dengan sendirinya akan menjadi benih untuk tanaman sekitar. Tentu hal ini berlaku jika kekah dalam jumlah yang banyak. Mereka akan membutuhkan konsumsi yang banyak dan juga akan memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan. Dengan kata lain, ekosistem lingkungan hutan akan lebih kuat. Mungkin itu yang belum disadari oleh masyarakat modern kini. Khususnya mereka sebagai pemburu kekah.
Menariknya, kekah memiliki traumatik terhadap aksi pemburuan liar itu. Memang aksi pemburuan itu sudah berlangsung sejak lama, baik memburu kekah, membabat hutan, atau aktivitas yang mengganggu habitatnya. Menurut Ahdiani, salah satu pemerhati kekah mereka akan kabur ketika melihat kamera dengan lensa panjang. Dalam tangkapan objek kekah, benda menyerupai senjata laras panjang seperti para pemburu liar gunakan. Kita bisa menduga, bahwa traumatik ini muncul akibat banyaknya masyarakat kita sendiri yang menjadi pemburu kekah dengan membawa senjata laras panjang. Senjata itu kelak akan menjurus pada tubuh kekah. Kematian satu per satu primata itu yang memunculkan traumatik. Terlebih mereka yang memiliki bayi, sebab bayi di pasar gelap kekah memiliki nilai jual yang lumayan. Menurut Ahdiani pula, setiap kekah berperan sebagai detektor, menyampaikan pesan tanda bahaya melalui suaranya yang khas.
Kembali lagi, cerita rakyat adalah mimesis. Tiruan realitas kehidupan yang dikonstruksikan dalam sastra lisan. Gambaran dalam cerita tersebut direkam agar kita menentukan kearifan lokal yang dapat dijadikan nilai di masa sekarang, nilai yang relevan. Begitu pula kita dapat dengan bijak memperlakukan kekah sebagai makhluk hidup yang perlu diberi ruang untuk hidup bebas, tanpa dijadikan daya tarik di tempat makan atau peliharaan di rumah.
terbit ulang dari Tajar, kolom Kantor Bahasa Kepulauan Riau, Tanjungpinang Pos, 4 Juni 2022