oleh Melisya Yunita Pratiwi
Jejak sejarah dari suatu tempat bisa ditelusuri dari asal-usul namanya. Dalam ilmu antropologi, kajian mengenai asal-usul nama ini dikenal dengan istilah toponimi. Dikutip dari Sekarsih (2020), toponimi merupakan ilmu tentang nama suatu tempat berdasarkan etimologi, pemaknaan, dan evolusi.Kaitan antara toponimi dengan jejak historis merupakan salah satu fokus UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names) sejak didirikan 1968. Di sisi lain, upaya penelitian toponimi dilakukan untuk mendukung pengusulan Sumbu Filosofis Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia, yang telah masuk ke daftar tentatif United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sejak tahun 2017. Ini merupakan bukti seberapa berharganya nama suatu tempat sebagai penunjuk kemajuan peradaban sekaligus jejak historis.
Sebagai jejak sejarah, toponimi beberapa pulau diabadikan pada penamaan gedung-gedung penting di Natuna. Sebut saja kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten Natuna di Jalan Batu Sisir, Bukit Arai. Gedung-gedung di sana diberi nama sesuai dengan beberapa pulau yang ada di Natuna. Seperti Gedung Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) yang diberi nama Sekatung, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang diberi nama Tokong Berlayar, Dinas Kesehatan yang diberi nama Semiun, dan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro yang dinamai Cepala. Selain digunakan untuk menamai perkantoran, toponimi juga menginspirasi penamaan gedung serbaguna yang terletak di samping Kantor DPRD Kabupaten Natuna sehingga diberi nama Serindit. Nama Serindit ini diambil dari nama sebelumnya dari Kabupaten Natuna.
Sebelum mendapat nama Natuna, ada berbagai nama yang disematkan kepada kepulauan di ujung utara Indonesia ini. Kepulauan Natuna sebelumnya bernama pulau Serindit. Diberi nama Serindit karena sekitar tahun 1350 Masehi, Kepulauan Natuna masuk daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Dan dalam perjalanan pelaut-pelaut Kerajaan Majapahit ke negeri Siam, Campa, Kamboja, dan Anam, mereka selalu menyinggahi gugusan Kepulauan Natuna untuk berlindung dari amukan laut. Pada masa itu, Natuna tak lebih dari hutan belantara yang tak dikenal dan hanya terdapat burung-burung serindit, sehingga pembesar Kerajaan Majapahit memberi nama pulau ini sebagai Pulau Serindit.
Selanjutnya pada tahun 1458-1777 Masehi, masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah di Malaka, hubungan antara Melaka dan Majapahit baik sekali sehingga terjadilah perkawinan antara Sultan Malaka dengan Raden Galuh Chandra Kirana yang merupakan puteri Raja Majapahit. Pulau Serindit dan Indragiri merupakan hadiah pernikahan keduanya.
Namun, kekuasaan Malaka runtuh ketika 1511 M sehingga Bandar Malaka jatuh ke tangan Portugis. Putra dari Sultan Mahmud Syah I (Sultan Malaka saat itu) yang bernama Sultan Alauddin Riayat Syah mendirikan Kerajaan Johor (1530 M-1564 M) setelah kematian ayahnya. Pulau-pulau yang telah dihadiahkan Majapahit kepada Melaka menjadi warisan kepada Kerajaan Johor, termasuk Pulau Serindit, yang saat pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah III diperintah oleh Datuk Kaya Indra Pahlawan.
Sultan Alauddin Riayat Syah III memiliki seorang putri bernama Raja Fatimah yang mengidap penyakit lumpuh sejak kecil sehingga ayahandanya malu dan mengasingkanya ke Pulau Serindit. Kedatanganya di Pulau Serindit disambut baik oleh Datuk Kaya Indra Pahlawan karena Raja Fatimah dibekali mahkota kerajaan untuk memerintah.Pada saat kedatangan Raja Fatimah ke Pulau Serindit, di Segeram, salah satu bandar di Pulau Serindit, terdapat seseorang bernama Demang Megat yang tidak diketahui asal-usulnya. Ia kemudian diajarkan bahasa Melayu dan agama Islam sehingga dinikahkan dengan Raja Fatimah. Sejak itu, mulailah dibuat mahligai dari kayu Bungur dan pada tahun 1616 M, Pulau Serindit berubah nama menjadi Pulau Bunguran.
Dalam perkembangan sejarahnya, Pulau Bunguran ini masuk kedalam Kewedanan Pulau Tujuh berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia No. 9/Deprt tanggal 18 Mei 1956 sehingga masuk kedalam Daerah Otonom tingkat II Kepulauan Riau. Hingga pada tahun 1999, dibentuklah Kabupaten Natuna berdasarkan Undang-undang No. 53 tahun 1999. Dari sinilah Pulau Bunguran dimekarkan lagi menjadi dua kecamatan, yakni Bunguran Timur dan Bunguran Barat.
Toponimi Pulau Bunguran menunjukkan jejak sejarah Kepulauan Natuna, yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Majapahit, dihadiahkan kepada kesultanan Malaka, diwariskan kepada Kesultanan Johor, hingga berada dibawah kekuasaan Raja Fatimah. Pulau yang sebelumnya diberi nama Pulau Serindit sejak tahun 1350 M hingga berubah nama menjadi Pulau Bunguran pada tahun 1616 M. Selanjutnya pulau ini lebih dikenal dengan Pulau Tujuh. Baru setelah adanya Undang-undang Otonomi Daerah, tetaplah nama Natuna sebagai identitas kepulauan ini. Sejarah panjang ini bisa diinventarisasikan dalam dinamika toponimi Pulau Bunguran. Inilah bagaimana toponimi bisa menunjukkan jejak historis peradaban sebuah bangsa atau daerah.
Rujukan
Sekarsih, F. N., & Arsanti, V. (2020). “Toponimi Sebagai Pelestari Budaya Lokal di Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta”. Jurnal Graha Pengabdian, 2(4), 272-282.
Swastiwi, Anastasia W. (2012).Toponimi Daerah Natuna. Tanjungpinang: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Melisya Yunita Pratiwi 23 tahun tinggal di Jalan Pattimura, Bandarsyah. Mahasiswa STAI Natuna jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. mmidorin23@gmail.com