Posted on: 10 March 2022 Posted by: redaksi toknyong Comments: 0

Bidei ulu dan bidei Ile

Masa dahulu masyarakat di sebuah perkampungan yang berjarak dari tepi laut memanfaatkan sebuah sungai yang banyak dialiri ikan darat untuk dijadikan lauk pauk sehari-hari. Untuk mempermudah nubou atau menuba, masyarakat menggunakan aur yang banyak di daerah tersebut sebagai bidai. Aur itu dipotong, diraut, dan dijalin selebar sungai. Bidai semacam ini juga menjadi pilihan bagi masyarakat yang membuat belat dikarenakan pada masa itu jaring belum tersedia. Setelah bidai selesai dibuat, lalu dikembangkan selebar sungai. Dengan begitu, saat masyarakat menuba, ikan-ikan darat tersebut tidak akan jauh larinya karena terhalang oleh bidai. Juga bidai itu sebagai pemisah antara dua wilayah yang terbagi menjadi hulu dan hilir. Jika ikan darat tersebut berada di sebelah hilir, maka masyarakat sebelah hilir yang mendapatkan. Begitu pun sebaliknya. Orang-orang dulu untuk membedakan penyebutan dua wilayah itu menggunakan nama Ulu Bidei dan Ile Bidei yang berarti Hulu Bidai dan Hilir Bidai. Namun, seiring berjalannya waktu, penamaan itu mengalami pergeseran menjadi Sebadai Hulu dan Sebadai Hilir. Sehingga mengalami perubahan makna.  

Kelanga

Warisan yang bisa dirasakan oleh masyarakat sampai saat ini pada masa penjajahan Belanda di Pulau Bunguran, salah satunya adalah penamaan daerah Kelanga. Daerah yang berada di sebelah Timur Laut pulau Bunguran itu dulunya banyak ditumbuhi pohon kenanga. Pohon-pohon ini hidup berdampingan dengan rumah-rumah penduduk pada masa penjajahan Belanda. Ketidakfasihan pejabat-pejabat kolonial dalam mengucapkan kata ‘kenanga’ mengakibatkan perubahan ucapan yang terdengar menjadi kelanga.

Berawal dari hal itu, masyarakat pun ikut menuturkan daerah tersebut dengan nama Kelanga sehingga secara tidak langsung, masyarakat sepakat menamai daerah tersebut dengan nama Kelanga. Pada bentuk tuturannya perubahan dari kenanga ke kelanga sebetulnya tidak berpengaruh besar, sebab terjadi pelesapan suku kata tengah yang menjadi Kangeu atau Kange. Namun, saat ini keberadaan pohon kenanga sudah sulit ditemukan. Bau kenanga begitu harum tercium sampai ke laut saat-saat orang pergi mengail ketika musim angin daya malam. Kenanga juga pada masa dulu dipakai sebagai minyak rambut. Masak lilin dalam madu dicampur minyak kelapa dan ditambah bunga kenanga. Batangnya tidak keras dan tumbuh besar dengan cepat.

Akarnya digunakan untuk obat. Bunga kenanga juga dipakai untuk menyembuhkan para pemain lakon yang kemasukan peri dari kayangan, salah satunya pelakon dalam lakon Langlang Buana. Diambil bunga tujuh warna yang wangi termasuk kenanga, lalu disatukan, diserahkan kepada yang punya hak sebagai jalan kesembuhan.

Setuek
Menurut tuturan cerita, nama Setuek diambil dari kayu batang berbuah tuek. Buah tuek gugur sebulan sekali satu per satu, atau kurang lebih sebulan. Hal ini yang membedakan buah tuek dengan buah yang lain.  Batang tersebut berada di tepi ulu sungai. Beberapa buahnya jatuh ke dalam sungai dan ada juga yang jatuh di rebak-rebak (semak-semak). Buah tuek tidak untuk dikonsumsi oleh masyarakat sekitar.

Air Terjun Gunung Hiu

Air mengalir menuju dataran rendah. Seperti pula  yang terdapat di Gunung Hiu, Desa Ceruk. Menurut cerita, pada awalnya masyarakat sekitar bertanya-tanya mengenai suara air meqheh-meqheh atau gemuruhyangmengganggu tidur malam mereka. Lalu salah seorang ibu berkata kepada anaknya, bahwa suara itu dihasilkan oleh seekor hiu yang melintang di bagian air atas sebelum jatuh ke bawah. Sehingga air yang bertumpuk di tubuh hiu tersebut saat meluap dan berjatuhan dengan suara yang keras. Meskipun saat itu hari sedang panas-panasnya. 

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.