Perjalanan yang Kesebelas
Pada siang Jumat pukul 6 pagi
Perjalanan dimulai dari Sebentang dengan mengikuti garis pantai yang berpasir putih lagi keras dengan berjalan kaki. Dua buah sampan tempat Raja Ali Kelana menyeberang itu ditinggal di Sebentang. Pukul tiga tiga suku (perlu dicek kembali) bertentangan dengan kampung Teluk, bermastautin di situ rumah saudara Amir Ilyas yang telah meninggal. Di kampung Teluk ini terdapat satu tanjung bernama Tanjung Air Medang (Tanjung Semedang, Cemaga). Pukul 7.10 menit, Raja Ali Kelana berhenti sejenak di Tanjung Cemaga karena ia menggambar Tanjung Cemaga. Setelah selesai, ia melanjutkan perjalanan. Empat puluh menit kemudian (7.50) sampai di suatu tanjung yang ketika ditanya oleh Raja Ali Kelana kepada Raja Mahmud, Amir Pulau Tujuh itu nyatanya terlupa. Dasar itulah, Raja Ali Kelana menamakan tanjung itu dengan nama Tanjung Selupa. Pukul 8.20 menit sampai di kampung Motong. Mereka berhenti sejenak untuk menghilangkan penat. Perjalanan dilanjutkan pukul 9.30 menit. Satu jam setelahnya, mereka sampai di Selat Penarik menanti sampan satu atau dua jam.
Orang-orang memanggil selat itu dengan nama Selat Penarik karena di situ ada sebuah hulu sungai biasa digunakan kebanyakan orang untuk memintas jalan pergi ke sebelah selatan Pulau Bunguran ataupun karena angin kencang maka ditariklah sampan dari pantai sebelah utara atau timur dari pulau yang tersebut ini ke darat menemukan Sungai Penarik itu. Orang-orang harus menarik sampan di atas darat sejauh 100-200 depa lebih kurang. Dari hulu sungai itu hilir pula ke sebelah barat atau selatan Pulau Bunguran.
Sampai di situ, Raja Ali Kelana menuju hulu Sungai Penarik karena di situ tersedia sampan. Pasir di tepi Sungai Penarik itu tidak dapat dipijak karena seperti api panasnya, tambah lagi ia tidak memakai sepatu karena telah koyak. Walaupun begitu, Raja Ali Kelana dan lainnya tetap melewati pasir yang panas itu sehingga kakinya meletup. Pukul 12 tiga suku (12.45) sampai ke hulu Sungai Penarik. Pukul satu bertolak dari hulu Sungai Penarik dengan empat buah sampan. Keinginan untuk segera pulang dan sampai di tempat tujuan tampak dari kayuhan yang deras, oleh Amir Pulau Tujuh mengeluarkan isyarat memasang layar agar lekas sampai ke Pulau Sedanau. Melihat anggota amir yang kelelahan, Raj Ali Kelana mengarang sebuah pantun seloka.
Pulau Sedanau pantainya jauh
Tempat amir bersenang hati
Berpenat-penat datangnya jauh
Pulaunya itu cinta di hati
Tempat amir bersenang hati
singgah di Binjai bertukar sampan
pulaunya itu cinta di hati
seperti seorang muda yang tampan
singgah di Binjai bertukar sampan
supaya segera memasang layar
seperti seorang muda yang tampan
berjinak hati tiada kan liar
Perjalanan yang Kedua Belas
Pada 16 Ramadan bersamaan dengan 28 Februari hari Sabtu
Tidak berapa lamanya berkayuh dari Sungai Penarik, pukul 6½ sampai di kuala Sungai Binjai di rumah Wan Mahmud di kampung Kinung. Mereka mandi sejenak dan bertukar sampan yang dibawa dari Pulau Sedanau. Raja Ali Kelana kembali lagi ke kuala Sungai Binjai setelah sempat ditinggalkannya beberapa waktu lalu ketika hendak ke Ranai. Setelah semua siap, pukul 9 bertolak dari kuala Sungai Binjai dengan tiga buah sampan yang berlayar cepat, pukul 3 malam itu juga sampai di Sedanau. Raja Ali Kelana dan Tuan Kontelir bermalam di sana.
Raja Ali Kelana menyatakan bahwa di Pulau Bunguran itu pemandangan pulau yang elok tanahnya dan bagus airnya. Waktu malam lebih sejuk dari Pulau Jemaja. Segala pohon-pohon kayu lebih hijau dari lain pulau. Hanya sedikit tanah yang kurang baik, yaitu di mana ada batu hampar di bawahnya. Isi hutannya juga belum ada yang cacat. Ketika Raja Ali Kelana berjalan di dalam hutan itu, ia melihat bermacam-macam isi yang dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat. Beberapa isi hutan itu, seperti bermacam-macam getah, damar batu kucing, damar daging, bermacam-macam rotan, mengkuang, kayu merbau, kayu balau, kayu berlian, kayu tembusu, kayu seraya, kayu mentangor, kayu tempinis.