Posted on: 25 February 2022 Posted by: redaksi toknyong Comments: 0

Perjalanan yang Ketujuh

Sedanau pada 12 Ramadan hari Selasa yang bersamaan pada 25 Februari


Pukul delapan pagi, Raja Ali Kelana meminta sebuah sampan kepada Raja Mahmud, Amir Pulau Tujuh pada saat itu untuk menjemput Tuan Kontelir di kapal karena sudah dijanjikan sejak awal. Tetapi oleh Raja Mahmud dijawab, “Tiada boleh sekali-sekali waktu ini sebab air kering benar, barangkali pukul dua atau tiga baharu pasang.”

Raja Ali Kelana menyebutkan bahwa pasang surut di Pulau Bunguran amat lain daripada di Riau-Lingga (Tanjungpinang), pasangnya begitu deras dan juga ketika surut. Dan jikalau dilihat ketika surut, hingga kecil orang dalam pandangan mata, lalu dalam masa tiga atau empat jam kembali pasang dengan sebentarnya.

Sementara menanti air pasang, Raja Ali Kelana meminta Raja Mahmud membuat surat daftar jumlah tongkang yang ada di dalam Pulau Bunguran. Kemudian Raja Mahmud hendak menyerahkan beberapa perkara kepada Raja Ali Kelana, namun penyerahan itu tidak diterima karena akan segara melanjutkan perjalanan ke Ranai pada hari itu. Lalu, Raja Ali Kelana memerintahkan untuk mengangkat perkara itu sekalian ke Riau. Raja Mahmud bersepakat akan hal itu karena bertepatan dengan hajatnya untuk menyuruh tongkang lima atau enam hari berikutnya ke Riau.

Sebelum pelayaran dimulai, Raja Mahmud menunjukkan beberapa surat. Sebagian dari surat-surat itu ada surat besluit (keputusan) seorang Melayu bernama Muhammad ‘Asyik yang dijadikan penghulu hamba raja di Pulau Laut. Penghulu itu duduk di bawah perintah Orang Kaya Maharaja Lela dan surat besluit itu dibuat oleh Datuk Syahbandar Ismail di Riau dengan tulisannya sendiri dan terdapat cap tanda tangannya. Setelah dilihat oleh Raja Ali Kelana, lalu ia mengambil salinan itu dibawa ke Riau Pulau Penyengat.

Setelah perkara itu, pukul dua air sudah pasang. Sesuai permintaan Raja Ali Kelana, sebuah sampan menuju kapal menjemput Tuan Kontelir yang akan menyeberang ke Ranai. Pada pukul tiga, Raja Ali Kelana dan Raja Mahmud turun ke sampan menanti tuan Kontelir. Pukul 4½ Tuan Kontelir tiba di labuhan tongkang tempat sampan mereka menumpang tambat. Saat itu juga mereka menyeberang dengan tiga buah sampan ke Pulau Bunguran. Tiga buah sampan itu masing-masing diduduki oleh Raja Ali Kelana, Raja Mahmud, dan Tuan Kontelir.

Pada pukul sebelas pada 13 Ramadan atau 26 Februari malam Kamis sampai mereka ke Pulau Bunguran. Tanah di sebelah barat kuala Sungai Binjai terdapat sebuah rumah seorang Melayu bernama Wan Mahmud dan kampung tersebut bernama Kinung. Rombongan Raja Ali Kelana bermalam di Kinung dan menumpang tidur di rumah Wan Mahmud tersebut.

Perjalanan yang Kedelapan

Di Pulau Bunguran pada 13 Ramadan hari Kamis bersamaan dengan 26 Februari.


Pukul 9½pagi mereka bertolak dari kampung Kinung dengan beberapa buah sampan menuju sungai Simpang Lanjut. Raja Ali Kelana menjelaskan ulang dari cerita yang beredar di masyarakat Pulau Bunguran, bahwa awalnya Pulau Bunguran bernama Pulau Serindit. Pulau Bunguran yang sebenarnya, yaitu sebuah pulau kecil yang lebih kecil dari pulau Bayan Riau. Pulau Bunguran itu berada di kuala sungai yang bernama Setapu yang di dalamnya juga tedapat sungai Binjai. Di dalam Pulau Bunguran yang kecil itu diketahui terdapat satu kubur yang dianggap keramat, tempat orang-orang bernazar (keramat Binjai).

Tidak berapa lama, pukul sembilan tiga suku (9.45) sampai di kampung Katung dan di situ ada dua buah rumah. Pukul 10 lewat 20 menit sampai di padang yang bernama Air Tiris, lalu dari padang Air Tiris maka berjalan ke padang Air Lansat. Mereka berhenti di situ untuk melihat padang yang elok sekali dan pasir halus yang putih di tengah-tengah padang. Tapi pandangan Raja Ali Kelana mengarah pada pohon-pohon hutan yang berada di tengah padang itu, daunnya berwarna kuning dan kecil batangnya. Lalu, Raja Ali Kelana beserta rombongan memeriksa penyebabnya. Ternyata penyebabnya adalah di bawah pasir putih itu jika digali kira-kira sehasta maka akan berjumpa batu hampar di bawahnya.

Pukul sebelas Raja Ali Kelana kembali melanjutkan perjalanan melalui padang pasir yang putih itu. Pukul empat tiga suku (16.45) sampai di kampung yang bernama Kangkung. Di situ ada sebuah pondok tempat orang menggoreng sagu rumbia yang akan dibuat menjadi sagu rendang dan sagu biji. Raja Ali Kelana nyatanya menyadari bahwa perkakas yang digunakan dalam penggorengan itu berbeda dengan yang ada di Lingga dan Sumatera, seperti kuali dan dapurnya. Tempat untuk menggoreng sagu itu dibuat dari lumpur dan abu dapur. Dari pembuatan itu ia menyadari tempat penggorengan itu halus, elok, dan licin bangunannya. Besar kuali itu kira-kira 4½ kaki dan dalamnya kira-kira satu kaki lebih kurang. Bagian lain adalah dapur tempat meletakkan kuali itu dibuat dari tanah sebagaimana kaidah dapur tukang dobi. Kuali yang dilihat oleh Raja Ali Kelana itu pepat dan rata di sebelah bawahnya.  

Pukul lima mereka tiba di sebuah kebun orang bernama Cual, ada sebuah pondok tempat ianya menunggu perkebunan itu. Dari situ, pukul lima tiga suku (17.45) mereka tiba di kampung Mahligai. Perjalanan Raja Ali Kelana dan rombongan berhenti sejenak menumpang bermalam di rumah nakhoda Saih yang memiliki tujuh-delapan buah rumah.

Jarak dari kampung Kanung sampai ke kampung Mahligai jauhnya 25.600 langkah. Kemudian tidurlah Raja Ali Kelana di rumah nakhoda Saih itu dengan pulas sampai terbit fajar. Bangunlah masing-masing dari tidur, lalu bergegas mandi. Kemudian futur (makan pagi). Sebelum melanjutkan perjalanan, mereka menanak nasi untuk bekal dalam perjalanan.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.