Pulau Tujuh pernah disinggahi oleh Raja Ali Kelana pada tahun 1313 H (1896 M). Kisah perjalanan Raja Ali Kelana ini dicetak oleh Mathba’at al-Riauwiyah Pulau Penyengat dengan huruf Arab-Melayu dua tahun kemudian dalam bukunya yang berjudul Pohon Perhimpunan. Perjalanan dinas ke Pulau Tujuh ini melaksanakan titah Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi yang tak lain adalah ayahnya sendiri, memeriksa dan mensiasat hal ihwal atas laporan permasalahan yang diterima Mahkamah Kerajaan Riau-Lingga di Penyengat. Pada masa itu, Pulau Tujuh di bawah kuasa dan naungan Kerajaan Riau-Lingga serta daerah takluknya sekalian. Catatan ini mengisahkan keadaan sosial masyarakat Pulau Tujuh saat itu, termasuk Natuna. Raja Ali Kelana menjelaskan secara detail mengenai tempat yang dituju, orang-orang yang ia temui, permasalahan yang ia hadapi, termasuk tanggal dan bulan perjalanan. Nama tempat dan nama orang-orang saat itu sedang berkuasa di Pulau Tujuh secara jelas dipaparkan oleh Raja Ali Kelana.
Hasil inspeksi ke beberapa wilayah kekuasaan dan takluknya itu yang dijadikan catatan perjalanan oleh Raja Ali Kelana. Buku tersebut saat ini sudah sulit ditemukan, baik yang sudah dialihaksarakan ke bahasa Indonesia oleh Hasan Junus apalagi yang berbahasa Melayu. Terlebih di Natuna, pulau pelayaran Raja Ali Kelana. Untuk mengetahui dan membayangkan Natuna pada Februari hingga Maret 1896, beberapa catatan perjalanan yang dilalui oleh Raja Ali Kelana akan dihadirkan di sini dalam edisi 126 tahun usia catatan perjalanan ini.
Perjalanan yang Pertama
Labuhan Tanjung Pinang, 6 Ramadan hari Arba’a 1313 yang bersamaan pada 19 Februari 1896
Mula-mulanya Raja Ali Kelana beserta seorang pegawai pemerintahan Belanda bernama GIF Schwart, kontelir afdeling Tanjung Pinang dengan sebuah kapal perang Belanda Flamanco dan kapitan bernama Fsier, berlayar hingga malam. Pada 7 Ramadan bersamaan dengan 20 Februari hari Kamis, mereka tiba di labuhan Jemaja kuala Sungai Maras.
Perjalanan yang Keenam
Sedanau pada 11 Ramadan bersamaan pada 24 Februari hari Isnin
Setelah melakukan perjalanan dari Pulau Siantan, kapal Flamanco memutar haluan ke Pulau Sedanau. Malam pukul satu, 24 Februari, kapal beralih labuh di tengah-tengah lautan sambil menanti hari siang. Pukul 5½ berlayar kapal sampai pukul 10½ siang Senin berlabuh di Tanjung Pandan, Pulau Sedanau. Pukul 12, Raja Mahmud, Amir Pulau Tujuh, turun ke kapal. Melalui Raja Mahmud, Raja Ali Kelana meminta keterangan kepadanya segala hal pegawai dan rakyat di bawah pimpinannya. Semua hal yang ditanyakan oleh Raja Ali Kelana nyata dalam keadaan baik. Lalu, Raja Ali Kelana meminta jawaban atas hajatnya yang akan pergi ke Gunung Ranai. Tetapi menurut Raja Mahmud, saat itu sulit untuk dapat berjalan dengan kapal Flamanco karena angin kencang. Saran Raja Mahmud, bisa ditunaikan hajat itu tetapi jadi lebih lama dalam hutan rimba. Ditambah pula pada masa itu terlalu besar air di darat sehingga anak-anak kopi Liberia yang disemai oleh segala mereka yang berada di Pulau Bunguran itu kebanyakan mati ditimpa oleh air yang datang dari gunung-gunung. Oleh Tuan Kontelir, keadaan yang sulit itu perlu diperiksa agar perkara keperluan tanaman kopi dapat dilaporkan ke Betawi (Jakarta).
Lanjut Raja Mahmud, Amir Pulau Tujuh jika sekiranya hanya pergi ke tempat perkebunan kopi saja bisa dilakukan, tetapi tidak dapat naik Gunung Ranai. Kalau tetap ingin dilakukan, sekurang-kurangnya empat hari pulang dan kembali. Setelah mendengar hal itu, Raja Ali Kelana dan Tuan Kontelir mufakat berjalan pada esok hari dengan perjalanan darat sedapat-dapatnya pada tempat perkebunan kopi.
Pukul 2½ Raja Mahmud Amir meminta naik ke darat. Sedangkan Tuan Kontelir berjanji pukul 5 petang baru naik ke darat. Setelah itu Raja Ali Kelana dan Raja Mahmud turun ke sampan. Pukul 4 tiba ke darat karena perlabuhan kapal terlalu jauh dan pukul lima tiga suku petang baru Tuan Kontelir bersama-sama tuan kapitan kapal tiba ke darat dengan sebuah boat kapal.
Belum sampai ½ jam keduanya duduk, mereka meminta kembali ke kapal karena kapitan kapal itu takut kemalaman payah keluar boat-nya. Pada 12 Ramadan malam Selasa jam pukul 7 yang bersamaan pada 25 Februari Raja Ali Kelana memerintahkan di atas Raja Mahmud, Amir Pulau Tujuh memanggil Orang Kaya Ahmad dan Amar ta’lim. Pada malam itu juga Raja Ali Kelana memeriksa lagi melalui Raja Mahmud itu segala hal ihwal di Pulau Bunguran dan pada rupa-rupanya tiap-tiap pekerjaan itu dijalan sebagaimana mestinya. Tetapi ada kekurangan syarat; pertama belum cukup belanja, dan kedua tiada tolong-menolong dan kerja sama.