
oleh B.M. Syamsuddin
Pada zaman dahulu kala, konon lahirlah sepasang anak Raja Jawa kembar putra-putri. Pangeran Parna dan Putri Parni namanya. Seorang gagah perwira, perempuan cantik rupawan. Mereka berdua jarang berpisah dan suka bersama-sama ke mana pun perginya. Seperti bermain-main di anginan, dan duduk di tepi kolam, bersenda-gurau di air mancur banjaran sari. Pun bersama-sama pula.
Ketika Putri Parni sudah remaja, berdatanglah sirih pinangan anak raja-raja dari negeri tetangga melamarnya, silih berganti. Namun belumlah seorang pangeran pun berkenan di hati Putri Parni. Semua pinangan anak raja-raja itu ditampiknya. Karena itu banyaklah pula putra bangsawan menaruh dendam, dan mencari-cari cara jalan untuk mencemari nama baik keluarga istana itu. Dengan tipu muslihat mereka, inang dayang kepercayaan raja Jawa dan permaisuri yang disogok, dijadikan kaki-tangan untuk mencari-cari kesalahan Putri Parni.
Maka terjadilah kisah di suatu hari, tatkala Pangeran Parna dan Putri Parni dua saudara kembar itu sedang bersenang-senang di taman bunga. Karena asyik bermain-main, bersenda-gurau, tidak disadari sedikitpun, bahwa mereka itu sedang diintip-intip oleh inang-dayang yang telah terima suap.
Terpancing rasa tanggung jawab seorang sauara laki-laki, Pangeran Parna ingin mengetahui gerangan apa yang tersembunyi dalam lubuk hati adinda sendiri, Putri Parni di sampingnya itu. Pangeran itu pun bertanya, “Adindaku sayang, Parni, kekanda hendak mengetahuinya, gerangan apakah adindaku tetap menolak setiap pinangan kaum bangsawan anak raja-raja terkemuka sahabat paduka ayahanda kita.”
“Sungguh-sungguhkah, kekandaku ingin mengetahuinya?”
“Demi tanggung jawabku, selaku saudara lakI-lakimu, wajib mengetahuinya.”
Setelah mendengar maksud Pangeran Parna saudaranya itu. maka Putri Parni pun menjelaskan masalahnya panjang-lebar satu pun tidak ada lagi yang patut dirahasiakan.
“Adinda telah bersumpah tidak akan kawin, bila belum bertemu pemuda seelok laku dan seindah rupa kekandaku sendiri, Pangeran Parna,” jelas Putri Parni dengan perasaan tulus-ikhlas.
“Oh, betapa sama nian sumpah tersemat di hati kita berdua,” sahut Pangeran Parna keheran-heranan, takjub,”Kekanda juga tidak akan menikah bila belum bertemu jodoh pada orangnya, seelok perangai dan semolek wajah adindaku sendiri, Putri Parni,” kata Pangeran sebenar-benarnya. Tidak ada yang tersirat di balik itu.
Namun cerita berkembang di lingkungan istana Seri Paduka Betara, sungguh bertolak-belakang dari kisah yang sebenarnya. Inang dan dayang pemakan suap anak raja-raja telah memutarbalikkan peristiwa, lalu mereka itu berdatang sembah.
“Harap diampun tuanku Seri Paduka Betara, bahwa telah terjadi perlakuan sumbang di mata adat dan sumbang pula dipandang agama kita.”
“Jelaskan inang dan dayang, apa yang telah terjadi?”
“Ampun tuanku, sembah patik pacal yang hina ini,” sembah inang-dayang pemakan suap, “Patik telah mendengar dengan telinga sendiri, bahwa Pangeran Parna dan Putri Parni dua saudara kembar sedarah-sedaging, berjanji akan kawin sesamanya.”
“Bedebah!!!” Seri Paduka Betara murka, “Panggil mereka berdua, anak jahanam itu, Panglima!!!” perintah baginda seraya menyinga di atas singgasana.
Setelah menghadap, Pangeran Parna dan Putri Parni di hadapan baginda ayahandanya, keduanya dituduh berlaku sumbang, kawin sedarah satu ibu-bapak. Keputusan sidang istana, mereka harus dilenyapkan, dibuang jauh dari Pulau Jawa. Segala permohonan ibunda Permaisuri meminta pertimbangan lebih masak, usul-periksa terlebih dahulu sebelum bertindak. Tetapi semua permintaan permaisuri itu ditolak Seri Paduka Betara dengan murka.
“Mereka itu telah sumbang, wajib dibuang!!!” sabda baginda,”Lempar jauh-jauh, hanyutkan sampai ke pusar arus pauh jenggi di Lautan Cina Selatan sana!!!”
Dengan berurai air mata, ibunda Permaisuri membekali putra-putri baginda dalam pembuangan itu dengan ketupat tujuh buah diiringi air perigi Pulau Jawa sepiala, tiga buah kelapa, dan lima tempurung pasir Pulau Jawa. Maka diberangkatkanlah saudara kembar Parna dan Parni dengan sebuah tongkang, meninggalkan Pulau Jawa yang konon dikuasai kerajaan Majapahit.
“Kami rakyat setia akan ikut, sehidup-semati dengan pangeran dan Putri raja!!!” jerit empat puluh empat rakyat setia laki-istri, seraya berduyun-duyun naik ke geladak tongkang yang segera akan menyeberang jauh itu.
Setelah empat puluh hari empat puluh malam melayari samudera luas dari Selatan ke Utara, maka di suatu pagi cerah sampailah angkatan tongkang Parna dan Parni beserta para pengikut setia itu ke pusar arus pauh jenggi. Air laut bergejolak, ombak pun membersit ganas di situ. Tatkala teranjung gelombang tujuh puncak menggulung, maka terlemparlah tongkang kenaikan Parna dan Parni hingga terdampar pada sebuah beting karang. Tidak bergerak-gerak lagi, tongkang seperti digalang malaikat secara ajaib dan menakjubkan.
“Inilah pertanda, Pangeran Parna dan Putri Parni adalah orang benar, tidak berdosa,” kata empat puluh empat laki-istri pengikut setia. “Orang benar, selalu ditakdirkan Allah,” kata mereka bersama-sama seraya menyembah duli ke hadapan pangeran dan putri junjungan.
Kedua putra-putri kembar Seri Paduka Betara Majapahit yang terbuang itu pun, turun ke beting karang, pertama-tama mereka menaburkan lima tempurung pasir bekal ibunda permaisuri, menyusul peletakan satu piala air perigi asal Pulau Jawa, kemudian menanam tiga buah kelapa di situ. segala pengikut setia pun berhimpun, membaca doa selamat dan berkenduri memakan ketupat perbekalan tujuh buah secebis seorang sama merasa, “Banyak sama dipepah, sedikit sama pula dicicipi.”
Pada masa itulah konon, tumbuh sebuah pulau di lingkungan pusar arus ditumbuhi sepohon pauh jenggi di tengah-tengah Lautan Cina Selatan. “Pulau Laut” namanya, karena memang muncul nun di tengah-tengah laut. Pangeran Parna dan Putri Parni dua saudara kembar, didukung pengikut setia dari Pulau Jawa yang rajin mengolah tanah tempat kediaman, maka terbenah sebuah negeri kecil-mungil pedesaan pantai yang permai.
Sampai dewasa ini dipercayai, bahwa pohon-pohon kelapa di Pulau Laut asal benih Pulau Jawa. Pasir putih di situ adalah pasir Jawa, yang dipertandai pula dengan “perigi air setakung” menurut kepercayaan setempat air berasal dari Pulau Jawa. Yakni mata air sebesar piala, walau di musim kemarau sekalipun sanggup menutupi keperluan penduduk seribu lima ratus jiwa. Akan halnya tongkang keramat menyelamatkan putra-putri raja yang benar tidak berdosa, baik lunas maupun kemudinya berwujud batu mirip daging kayu jati keluaran Jawa.***
Cerita yang tergolong legenda ini dapat dijadikan cermin kepribadian, bahwa bila menerima sesuatu pengaduan itu hendaklah terlebih dahulu dikaji buruk-baik, diselidiki secara usul-periksa sebelum memberi keputusan. Di samping itu kelihatanlah betapa kasih-sayang seorang ibu, betapa pun keadaan anak-anaknya difitnah orang ia masih turun tangan untuk membela lahir-batin. Pembelaan sempurna dengan ketulusan hati, digambarkan dari semua barang-barang perbekalan sang ibu semuanya menjadi barang berguna. Segenggam pasir dapat dipulaukan, setetes air dapat ditasikkan, sebiji kelapa atau bibir dapat dikebunkan, sebuah ketupat dapat mengenyangkan orang sekampung.
Pada sisi lain cerita ini dapat dijadikan tutur nasihat, bahwa sekalipun adik-beradik sedarah-sedaging, duduk berdua-duaan apalagi dekat tidak berjarak itu tidaklah baik. Di situ iblis dan setan datang menggoda, tempat hasut-fitnah bersarang di mulut orang.
Cerita ini juga dipandang bagus untuk kajian sejarah, betapa luasnya kerajaan Majapahit hingga ke pusar arus Lautan Cina Selatan, Pulau Laut menjadi batas wilayahnya yang terletak pada koordinat 4 derajat 55 menit LU – 108 derajat BT. Dalam masa penghujung abad ke-20, Pulau Laut termasyhur sebagai tempat perjangkitan pertama para pengungsi Vietnam sejak negeri Sagon porak-poranda dilanda perang saudara Agustus 1975, pulau paling Utara menjadi gerbang tanah air Indonesia di Lautan Cina Selatan.
(foto Dedi Yudia)