
Oleh Redaksi toknyong
Kami berkunjung ke Serantas dalam rangka menghadiri kegiatan Festival Budaya Desa di Serantas. Sebelumnya, Desa Sepempang telah lebih dulu membuka gawai budaya ini. Kegiatan sudah dibuka pada Rabu, 17 November 2021 dan dilanjutkan keesokan harinya dengan agenda lokakarya (workshop) pengolahan dan edukasi mengenai minyak nyuk (kelapa). Lokakarya ini juga memberi gambaran kepada masyarakat pentingnya pengetahuan mengolah kelapa menjadi minyak sebagai kekayaan pengetahuan tradisional.
Kegiatan dilanjutkan pada Sabtu, 20 November 2021. Sejak pagi diawali dengan penyambutan tamu undangan yang datang dari pulau Bunguran. Serantas berada di wilayah Pulau Tiga, membutuhkan waktu kurang lebih satu jam menggunakan ojek pompong dengan tariff dua puluh ribu satu penumpang untuk sampai ke sana. Beruntungnya, kondisi laut saat itu tenang dan cerah.
Kegiatan tersebut dihadiri Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang diwakili oleh Kepala Bidang Kebudayaan Hadisun, S.Ag. beserta rombongan komunitas Kompasbenua dan Natunasastra. Ketika pompong sandar, tabuhan kompang menyambut kedatangan tamu undangan. Jalan pelabuhan di pasang gerbang dengan hiasan daun kelapa. Pemandangan yang menarik pagi itu adalah umbul-umbul yang dianyam dari daun kelapa terpasang sepanjang jalan pelabuhan. Sambutan berikutnya adalah pertunjukkan silat diiringi gendang panjang masyarakat Serantas.
Acara dipusatkan di halaman kantor Desa Serantas. Latar panggung dihiasi kain-kain batik, latar stan bazar dan pameran yang cukup panjang memanfaatkan daun kelapa yang dianyam. Pada meja-meja yang berderet, menampilan kerajinan tangan miniatur kolek dan jongkong yang dijual kisaran 50 sampai 250 ribu rupiah, penganan ubi jalar, lempar, tapai, air minum kelapa, dan lainnya.
Camilan dibagikan kepada tamu undangan dan penonton, menariknya lagi bungkusan camilan tidak menggunakan kotak kue pada umumnya. Panitia membungkus camilan menggunakan daun pisang yang diikat dengan tusuk lidi. Penampilan demi penampilan, sambutan demi sambutan pun selesai. Masyarakat Serantas yang semula berkumpul di area acara, berpindah ke sisi sebelah kiri panggung, menuju tenda yang sudah dipersiapkan panitia untuk lomba pengolahan minyak nyuk. Setiap tim berjumlah tiga orang ibu-ibu. Lima kelompok peserta akan mengolah kelapa tua sampai menjadi minyak kelapa. Penilaiannya berdasarkan, rasa, kematangan, tampilan, kekompakkan, warna, dan kebersihan.
Pertama, peserta akan menyuek nyuk (mengupas kelapa), kemudian kelapa dibelah, menyisik kelapa (memisahkan isi kelapa dengan tempurung) menggunakan isok nyisik (pisau). Lalu peserta yang lain akan memarut kelapa dan memerahnya. Biasanya, setelah proses ini kelapa dibiarkan satu hari agar terpisah antara minyak dan airnya. Lalu, disayut untuk mengambil minyaknya. Tapi berhubung lomba, dilanjutkan ke proses masak. Peserta hanya boleh memasak menggunakan tungku dan kayu bakar. Untuk memberikan aroma yang harum, bisa menggunakan daun pandan wangi atau daun serai. Penonton mengelilingi area perlombaan untuk memberi semangat. Ketika air perahan tadi sudah menjadi minyak, akan ada ampas masak nyuk. Ampas ini dikenal oleh masyarakat sebagai taik buduk. Ampas ini dijadikan sambal, dicampur kunyit dan liak. Sedangkan ampas dari proses perah kelapa disebut ketupang. Berbeda cara proses pengolahan, di Pulau Laut menggunakan alat yang dikenal sebagai temokhung (dialek Pulau Laut) atau temorung, seperti sagu untuk memerah kelapa menjadi santan.
Minyak kelapa masih digunakan oleh sebagian masyarakat Serantas. Rasa yang dihasilkan lebih enak. Jika menggoreng ikan, maka akan dapat dirasakan mana yang lebih kering. Mereka memilih menggunakan minyak kelapa karena harga minyak yang beredar di pasar saat ini mahal, mereka lebih baik membuat minyak secara sendiri. Minyak ini tidak digunakan untuk menggoreng saja, tetapi diakui beberapa masyarakat Serantas, minyak ini dapat digunakan sebagai minyak rambut juga dapat memperlambat uban. Sementara di ujung pelabuhan, masyarakat tengah asyik memperhatikan peserta yang mengikuti lomba menyelam.
Setelah istirahat, kegiatan dilanjutkan dengan lomba kuko nyuk. Lomba diikuti peserta berpasangan suami istri. Dengan hitungan waktu yang sudah ditetapkan, peserta akan mengukur atau memarut dua buah kelapa menggunakan alat yang biasa disebut kuko nyuk. Setelah itu, penonton berpindah ke pelabuhan untuk menyaksikan lomba kayuh kolek. Kendaraan melaut tradisional yang sudah sejak lama ada di Natuna, sampai saat ini masih dilestarikan salah satunya dengan cara dilombakan seperti yang dilakukan oleh panitia Festival Budaya Desa Serantas. Kegiatan siang itu dipusatkan di pelabuhan dekat kantor desa Serantas. Penonton, panitia, dan peserta memadati sepanjang pelabuhan. Peserta akan mengayuh kolek dengan ciau dari garis yang sudah ditentukan oleh panitia menuju pelambung bendera berwarna oren lalu putar balik menuju garis finish. Lomba dibagi babak penyisihan, masing-masing tiga peserta, lalu babak final akan melombakan juara satu dari setiap penyisihan.
Format serupa juga digunakan dalam lomba jongkong atau jungkong. Kendaraan ini lebih muda dari kolek, walaupun usianya tetap sudah tua. Peserta juga akan melewati pelambung bendera lalu memutar balik jongkong menuju garis finish. Bedanya, jika kolek diperuntukkan untuk laki-laki saja, perempuan dapat ikut serta dalam perlombaan kayuh jongkong ini. Menjelang sore, kegiatan terus berlanjut dengan lomba berenang yang diikuti pelajar SMP/SMA.
Malam harinya, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Hardinansyah hadir untuk menutup acara Festival Budaya Desa Serantas. Malam itu juga malam pembagian hadiah dengan beragam barang yang sudah disiapkan panitia. Barang-barang ini dibeli di Ranai, mengingat di Desa Serantas belum banyak tersedia toko kelontong atau peralatan yang diperlukan. Acara terus berlanjut dengan hiburan musik dangdut dan Melayu. Masyarakat tampak antusias mengikuti sampai kegiatan selesai, hal ini karena masyarakat sudah lama tidak menikmati acara semacam ini.