
cangkir kopi
kemarau yang hujan
senyummu menjahili malam
cangkir kopi ketiga tandas
jalanan kian dicumbui gerimis
dedaunan kering guguran ditingkahi angin
tersungkur di tanah-tanah basah
kuingat namamu dalam dingin
akhirnya hanya sumpah serapah
bukan kepergianmu mengakhiri segala
tapi doa ini kelu
bukan pandemi pencabut nyawa
nyatanya mayatmu biru
nganjuk, 19062021
menuju lupa
suatu saat nanti semua lupa
hangatnya jemari istri satu rasa dalam cangkir kopi
tidak akan ada tanya lagi besok ke mana
tubuh telah teronggok di ranjang sunyi
suatu saat nanti tidak akan ada tanya
ini cangkir siapa
setiap diri sibuk memilin-milin perjalanan diri
lantas setiap detiknya hanya hati-hati
nganjuk, 19062021
tentang ampas
kebodohan itu apa
ketika hari-hariku milikmu
irama dua musim terlalu tega
menjadikanku tetap yang kedua
aku ampas di cangkirmu
yang bermimpi diseruput bibirmu
yang akhirnya kaucuhkan selalu
dan tetap mengendap seolah setuju
kita melambaikan tangan hati
tangan hatiku selalu tersudut membentur telapakmu
meski cangkirmu kini bergambar hati
aku tetap pekat di dasar pilihanmu
nganjuk, 19062021
varian kopi
ia gontai diantara deburan nyinyir
yang katanya telah mendua semenjak kecanduan kopi anyir
konon campurannnya darah tega dan dusta
sekalian saja pesan kopi durhaka atau kopi kaya raya
lurus bukan lagi tujuan sekarang
semua tentang kebaikan mendadak hilang
terlalu banyak varian kopi
dan kita lupa bahwa kopi ternikmat adalah kopi murni
nganjuk, 19062021
Andik Trio Widodo seorang petani yang suka menulis fiksi. Lahir dan bertempat tinggal Nganjuk. Bergiat di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.