Posted on: 19 September 2021 Posted by: Comments: 2,247

oleh Firman Fadilah

Pohon beringin di ujung kampungku ini sangat besar sekali. Jika diukur, sepuluh orang dewasa bisa merangkulnya. Rimbun daunnya seperti tenda di acara hajatan yang bisa menaungi puluhan orang. Ketika angin memiuh, daun-daun kuning dan coklat berguguran, melambai dan bergoyang ke sana kemari sebelum menyentuh tanah.

Pohon beringin itu bercecabang banyak sekali. Banyak hewan yang memasrahkan hidupnya di pohon itu. Rantingnya menjulur ke mana-mana. Bahkan, ada yang menyerupai seperti akar yang menggantung. Kami biasa bermain di sana, bergantungan seperti monyet hutan.

Di dekat pohon beringin itu, ada rimbun bambu yang tumbuh dengan sendirinya. Kata Bapak, pohon bambu itulah yang menjadikan sungai di kampung ini tetap mengalir. Dan benar saja, sungai kecil yang mengalir itu tak pernah kering. Bahkan, di musim kemarau panjang sekalipun.

Aku dan teman-temanku kerap bermain di sana. Bermain petak umpet, bersembunyi di balik akar tunggang yang mencuat di atas permukaan tanah. Bermain kelereng, ayun-ayunan, dan kadang kami memancing di sungai kecil itu. Hal yang paling menyenangkan adalah ketika ada sepasang kekasih berduaan di bawah pohon beringin. Kami kerap mengganggu mereka dengan melempar batu kecil atau dengan cekikikan seperti kuntilanak. Namun, tentu saja mereka tak takut. Mereka tahu itu adalah ulah jahil kami.

Kami geram, pasalnya orang-orang itu bukan berasal dari kampung kami. Mereka adalah penduduk kampung sebelah yang bingung mencari tempat untuk memuaskan napsu. Kami terus berusaha mengusir mereka, tetapi mereka seolah tak peduli. Otak mereka telah dikuasai setan. Bahkan, ketika tubuh mereka saling tindih tanpa busana, mereka tetap bergeming hingga basah dan berkeringat.

Aku kadang menceritakan kejadian ini kepada Ibu. Apalah arti perkataan anak ingusan seperti aku ini. Tidak ada orang yang percaya. Sama saja seperti suara rakyat kecil yang tak pernah didengar oleh pemerintah. Kami hanya bisa diam sebab Ibu dan Bapak kami malah balik marah. “Kalian tak usah ikut campur urusan orang dewasa!”

Bukan, bukan kami yang ikut campur, tetapi merekalah yang merusak tempat bermain kami. Aku geram.

Waktu bergulir dan aku telah tumbuh sedikit lebih tinggi walaupun Ibu masih saja menganggapku sebagai anak yang dungu. Aku mulai paham apa yang dilakukan sepasang kekasih di bawah pohon beringin itu. Aku dan teman-temanku tak lagi memainkan ayunan, kail pancing, dan akar tunggang sebagai tempat bersembunyi.

Kami lebih suka melihat sepasang kekasih beradu cinta di bawah pohon beringin itu sambil memainkan burung dalam celana boxer kami. Dan, ah, kami ikut merasakan kenikmatannya.

Hari paling nikmat itu adalah hari terakhir kami bermain di sana setelah orang tua kami melarang siapa pun terlebih anak kecil bermain di pohon beringin itu. Alasannya sangat horor. Telah ditemukan mayat seorang wanita menggantung di pohon beringin. Ada bercak-bercak darah di bajunya. Orang-orang berduka, terutama anak-anak kecil di kampung kami yang kehilangan tempat bermain.

Daun pohon beringin itu perlahan berguguran. Rantingnya tampak kering sebab tidak ada daun yang tersisa. Pohon beringin itu seolah kehilangan hidupnya. Lalu, pohon itu bersemi lagi. Begitu terulang setiap tahun.

Rumput dan tanaman liar tumbuh subur sebab tidak ada lagi yang berani mendekati pohon beringin. Sejak saat itu, pohon beringin tempat biasa kami bermain dicap sebagai pohon angker. Pohon dengan makhluk halus di dalamnya.

Suara burung yang hinggap tidak lagi terdengar merdu. Daun yang gemerisik tertiup angin tak lagi mendendangkan irama ketenangan. Suaranya seperti rintihan seorang gadis pada malam pertama. Kenangan masa kecil kami hilang tertelan dosa. Pohon beringin itu seolah terlupakan dari benak masyarakat sekitar.

Pernah suatu ketika ada seorang anak kecil yang bermain di sekitar pohon beringin itu mengalami kejang-kejang. Matanya melotot dan berwarna merah, seperti nyala api. Wajahnya muram seperti menyimpan dendam. Lalu, dipanggillah seorang ustaz. Anak itu selamat meski sempat deman berhari-hari.

Aku dan kawan-kawanku pernah melanggar larangan untuk tidak mendekati pohon beringin angker itu. Pohon beringin terlihat lebih menyeramkan. Angin memiuh pelan-pelan. Hawa dingin menyeruak seketika. Rimbun bambu bergoyang-goyang. Gesekan daun dan batangnya menimbulkan suara berdecit seperti jeritan anak kecil atau hewan yang sedang tertimpa kemalangan.

Bulu kuduk seketika meremang. Kami takut. Namun, ini adalah tempat bermain kami sebelum peristiwa itu terjadi. Apa yang perlu ditakutkan? Ini sungguh tidak masuk akal jika tempat ini telah menjadi rumah bagi makhluk halus. Makhluk halus punya dunia mereka sendiri, sedangkan ini adalah pohon, rumah bagi binatang dan tempat bermain kami, bukan tempat bagi makhluk halus.

Kami mencoba untuk mendekat, tetapi Armand, temanku itu sangat penakut.

“Ayolah kita pulang saja! Sudah sore,” racaunya.

“Ah, kau ini penakut!” gertakku.

Di bawah pohon beringin itu, ada semacam sesajen, entah untuk apa. Aku baru mengetahuinya. Malamnya, aku tanyakan kepada ibu. “Jangan sekali-kali kauambil sesajen itu!” kata Ibu dengan nada sedikit tinggi. “Sesajen itu buat roh-roh penasaran agar tidak mengganggu kita,” imbuhnya.

Aku jadi makin bingung. Apakah makhluk halus suka dengan nasi kuning, ayam, telur, aroma dupa, bunga tujuh rupa, dan koin? Setahuku, makhluk halus tidak memiliki napsu. Mereka tidak rakus. Lain dengan manusia yang berkebalikan.

Malam itu, bulan bersinar sangat terang. Cahayanya menelisik malu-malu di sela reranting. Setiap malam Jum’at, kami biasa melakukan pengajian keliling dari rumah ke rumah. Pengajian itu rutin dilaksanakan oleh anak-anak TPA Al-Hikmah. Doa-doa, salawat, dan surat Yasin dibacakan. Sesuai dengan jadwal, malam Jum’at itu kami berkumpul di rumah Yanto. Aku berangkat bersama dengan adikku.

Aku agak cemas. Pasalnya, rumah Yanto terletak paling ujung dan agak terpencil. Parahnya, rumah Yanto dekat dengan pohon beringin itu. Aku agak takut sebab ini adalah malam hari. Malam Jum’at. Kata Pak Ustaz, malam Jum’at adalah malam di mana semua arwah orang yang telah meninggal kembali ke rumah masing-masing untuk meminta doa. Mengingat kata-kata itu, aku semakin takut.

Seluruh santri TPA hadir pada malam itu. Jadi, aku sedikit lega. Namun, ketika acara selesai dan semua orang telah pulang, adikku seketika bertingkah aneh. Adikku, Nabila, kerap melirik ke arah belakang. Langkah kakinya ragu-ragu.

“Kak, itu siapa?” tanya adikku sambil menunjuk ke arah pohon beringin besar yang tampak seperti barongan. Ranting-ranting yang menjulur terlihat seperti kuku serigala yang siap menerkam mangsanya.

Badanku gemetar. Keringat dingin membanjiri dada dan keningku. Darahku berdesir hingga napas naik-turun dengan cepat takku pedulikan. Tenggorokanku seperti tercekik hingga tersenak kata.

Lidahku kelu. Sungguh sial malam ini. Seharusnya aku tak mengizinkan anak seumuran adik ikut denganku. Kurasakan lutuku mulai lemas. Aku seperti sedang memandang lorong gelap yang tak berujung. Di dalamnya tidak ada udara dan tidak ada jalan keluar. Napasku sesak.

“Siapa?” tanyaku linglung. “Tidak ada orang di sana.”

Aku menatap wajah adik lekat-lekat. Matanya berbinar seperti permata di lautan. Aku sigap menggaet tangan adikku dan menuntunnya pulang.

“Itu, Kak. Dia di sana. Perempuan!” pekik adikku lantang. Adikku tak henti-hentinya memandang pohon beringin itu. Tanpa berpikir panjang, aku segera menggendong adikku menuju rumah. Aku sedikit berlari.

“Ngaco kamu. Tidak ada siapa-siapa!” Aku menepuk paha adikku pelan.

Lampu rumah telah tampak benderang. Aku sedikit lega. Adikku tenteram di gendonganku. Anak kecil memang tidak pernah berbohong. Kata-katanya tak pernah terselip setitik pun dusta. Namun, di saat seperti tadi, aku tak boleh jujur dan tampak takut. Aku harus tetap tenang di hadapan adikku. Terlebih, aku adalah seorang lelaki.

Adikku tak berbohong. Aku juga melihatnya. Sesosok perempuan berbaju putih tanpa badan. Kepalanya seperti menggantung. Cahaya bulan jatuh tepat di ubun-ubunnya. Matanya merah membelalak. Ia tak berkedip seumpama rentenir yang sedang menagih utang.

Beruntung, aku sudah sampai di depan rumah. Ibu menyambut kami di daun pintu. Aku lega sebab jantungku bisa kembali berdetak normal. Haruskah aku menceritakan kejadian tadi kepada Ibu? Ah, rasanya tidak perlu. Ibu pasti tidak mempercayaiku.

Sebaliknya, Ibu mungkin akan memarahiku karena aku dan teman-temanku telah mengambil beberapa keping koin dan ikan panggang yang terhidang di bawah pohon beringin besar itu. Beberapa sesajen lainnya telah kami buang ke sungai kecil. Semoga saja ikan-ikan sudi memakannya.

Kami tak usil, apalagi nakal. Kami hanya tak mau jika tempat bermain kami direbut oleh makhluk tak diundang untuk yang kedua kalinya.
Tanggamus, 27 March 2021

Firman Fadilah sedang menempuh pendidikan di IAI An-Nur Lampung. Cerita pendeknya banyak termuat di berbagai media masa dan buku antologi. Salah duanya cerita Wajah Pandemi (negerikertas.com) dan Pendar Cahaya Adha (CPM; 2020). Buku kumpulan cerita pendek pertamanya First Kiss (Guepedia; 2021).

Uncategorized

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.