
Malam Membara
Telah merapat tubuhku ketubuhmu,
Kubilang malam akan datang,
Ditemani dengan para bintang,
Bersinar lantang naungi kita,
Yang menuai kasih sayang.
Detak jam dinding mengawasi,
Geliat jemari lihai merayu sayu matamu,
Sedang ranjang malu-malu dengar derai,
Tawa yang begitu geli dan lantas,
Sajikan tarian rindu tepat di liang asmara
Yang buatku membara.
Seketika suaramu lenyap di mulutku,
Bersatu padu di malam syahdu.
Kau dan aku terpaku mesra.
Merajut kisah dengan desah.
Jakarta, 2021
Sudut Gang Sepi
Di sudut gang sepi,
Sunyi adalah kawan sejati,
Setiap hari makan hati,
Yang merintih dari perut lapar.
Lapar akan cinta dan keadilan,
Lapar puaskan hasrat yang tak tertahan.
Debu selalu menjamah kalbu,
Hingga sesak dirasa dalam dada,
Terkepung sakit menikmati realita,
Membuat langkah kian tertatih,
Melinjak masa yang terus menuai dusta!
Dan di sudut gang jiwanya meregang,
Semua mata terpancang pada tubuh,
Yang memegang perut penuh darah,
Genggam seonggok mimpi,
Berwujud doa-doa.
Jakarta, 2021
Kembali Terkenang
Rambut terurai lembut gemulai,
Ia menari kala angin pagi,
Menyapa dengan sinar mentari.
Sentuh hati dingin selepas hujan,
Mendekap tubuh malam yang sendu.
Memori itu datang kembali,
Dengan wajah hangat dan semanis madu,
Berkisah tentang hati yang resah,
Akan rupa yang tak lagi bersua,
Menimbun kenang dalam air mata,
Yang tenang berlinang.
Jakarta, 2021
Kala Kau Berisik
Saat kau berbisik, itu amat mengusik,
Aku yang menjalin asmara dengan kata,
Bimbang dengan suara lirihmu,
Yang menerkam daun telinga;
Sampaikan risalah bahwa hati tetap terluka,
Meski kita telah bersama.
Lalu kau bergelantungan di rambutku,
Yang liar seperti ombak di tengah badai.
Kau injak dengan hati penuh amarah,
Tantangaku untuk menyergap jiwamu,
Dan memagas segala kisah,
Yang kini tak mendesah.
Kian liar mulutmu bicara, ganas ia berderai,
Ke hatiku yang kini semakin keruh.
Sedang pena telah kugenggam dengan tekad,
Bahwa malam ini puisi untuknya akan tersaji.
Dengan genangan air mata di pipi.
Jakarta, 2021
Melintasi Jalan Raya
Membelah malam dengan laju kendara,
Melintasi badan jalan
Yang habis dibelai hujan; basah bergairah,
Memantul lampu-lampu yang menyorot,
Setiap jiwa melangkah ragu di persimpangan,
Mengukur tekad yang rapuh dan cinta yang runtuh,
Jerit klakson memekis suara musisi jalan yang resah,
Memikirkan setiap nada yang lahir dari sang gitar,
Adalah anugerah atau musibah.
Ia petik harap dari mata waktu yang terus menatap,
Hingga dendangkan lagu tentang perpisahan,
Saat merah menjadi kuning menjelma hijau. .
Kembali rasakan risau.
Jakarta, 2021
Berlari
Orang-orang berlarian,
Lari dari masalah yang menjerat diri,
Rasakan kebebasan hakiki.
Kadang di ruang sepi, tak henti memaki,
Meneguk derita sendiri dengan,
Hati yang rawanterusik
Menutup pintu adalah hal terbaik,
Berkawan dinding berlumut,
Dan retak, ia akan rubuh menimpa,
Tubuh yang meringkuk.
Matanya kosong mimpi,
Memilih mendekap di balik jeruji,
Hingga hari terasa mati.
Dan masalah tak lagi bersemi.
Jakarta, 2021
Ardhi Ridwansyah kelahiran Jakarta, 4 Juli 1998. Puisinya dimuat di media seperti kawaca.com, catatanpringadi.com, apajake.id, mbludus.com, kamianakpantai.com, literasi kalbar, ruang telisik, sudutkantin.com, cakradunia.co, marewai, metafor.id, scientia.id, LPM Pendapa, metamorfosa.co, morfobiru.com, Majalah Kuntum, Radar Cirebon, Radar Malang, koran Minggu Pagi, Harian Bhirawa, Dinamika News, Harian SIB danHarian BMR FOX. E-Mail: ardhir81@gmail.com, Instagram: @ardhigidaw, FB: ArdhiRidwansyah,