
Oleh Wan Eddy Wan Izaz
Salasilah adalah sebahagian dari ilmu sosial yang ada hubungannya dengan sejarah. Salasilah keturunan amat penting diketahui dalam masyarakat bertamadun. Menjejaki asal-usul keturunan dapat memberi manfaat kepada hubungan kekerabatan dan merapatkan silaturahmi seperti yang diajarkan dalam Islam.
Sayang minat mencari waris dan jejak kasih sudah sangat kurang dari golongan anak muda. Mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan berkumpul bersama kawan atau bermain game daripada berkunjung ke rumah kaum kerabat yang sudah lama tidak berjumpa.
Salasilah keluarga akan mampu memupuk jati diri karena kita akan tahu nama dan peristiwa penting yang dilalui oleh moyang kita serta sumbangan mereka terhadap agama dan masyarakat. Belajar salasilah dapat secara lisan maupun melalui sumber tertulis yang diyakini kebenarannya agar tidak dipertikaikan oleh orang lain.
Salah satu keturunan yang masih kekal hingga sekarang adalah keturunan wan. Dari mana asal keturunan wan yang ada di kepulauan Natuna terutama di pulau Bunguran? Dari mana asal-usul gelaran wan, depan namà yang disandang seumur hidup oleh orang melayu? Ternyata masih banyak di antara kita yang belum memahami siapa yang memopulerkannya.
Sayid Husin Jamadil Kubra
Sayid Husin Jamadil kubra atau Sayid Husin Jamadil Kubro adalah tokoh yang kerap disebut namanya ketika membicarakan tentang keturunan wan, nik dan long di Kepulauan Melayu. Sayid Husin Jamadil Kubro adalah anak Sayid Ahmad Shah Jalal yaitu seorang gubernur di dalam kerajaan Sultan Muhammad Tughlaq, India.
Sayid Husin Jamadil Kubro dikabarkan tiba di Kelantan pada tahun 1349 M bersama adiknya Sayid Qamaruddin, Sayid Majduddin dan Sayid Thanauddin untuk berdakwah di sebelah timur. Sebelum sampai ke Kelantan, terlebih dahulu mereka sampai di Samudera Pasai yang telah berkembang menjadi pusat Islam Nusantara.
Sayid Husin Jamadil Kubro memiliki 22 orang anak dari 9 istri. Pernikahan Sayid Husin Jamadil Kubro dengan Putri Selindung Bulan, anak Sultan Baki Shah bin Sultan Mahmud Raja Chermin, lahirlah Sayid Ali Nurul Alam (1402 M). Sayid Ali Nurul Alam juga dikenal sebagai Patih Arya Gajah Mada. Keturunannnya menjadi pelopor berdirinya kerajaan Islam di Nusantara seperti Perlis, Kelantan Champa, Patani dan kerajaan Islam di Jawa.
Sayid Ali Nurul Alam mempunyai beberapa orang anak, yaitu: 1. Wan Husin, 2. Wan Abu Abdullah atau Wan Bo Tri Tri, 3. Wan Demali. Sayid Ali Nurul Alam-lah yang mula mengasaskan dan memelopori pemakaian gelar wan yang kemudian banyak menyebar di negeri Patani, Champa dan Terengganu.
Wan Abu Abdullah bin Sayid Ali Nurul Alam menikah dengan anak Raja Seri Baduga Maharaja dan kemudian setelah kemangkatan ayah mertuanya maka diangkat menjadi Raja Champa 1471-1478 M. Dari pernikahan ini Wan Abu Abdullah mempunyai dua orang anak, yaitu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M dan Wan Abul Muzaffar lahir tahun 1450 M.
Wan Abul Muzaffar diangkat menjadi Raja Champa menggantikan ayahnya. Wan Abul Muzaffar bin Wan Abu Abdullah merupakan ayahanda kepada dua orang pengasas kerajaan, yaitu (1) Nik Jamaluddin, moyang kerajaan Jembal di Kelantan, (2) Nik Mustapha, moyang kerajaan Champa dan Patani.
Nik Mustapha bin Wan Abul Muzaffar adalah Sultan Champa yang bergelar Sultan Abdul Hamid Shah. Dilantik menjadi sultan pada tahun 1627 M dan ditangkap oleh An Nam pada tahun 1651 M dalam peristiwa perang besar antara Champa-An Nam.
Nik Mustapha mempunyai anak bernama Faqih Ali Malabari nama sebenarnya adalah Nik Ali. Di usia remaja dihantar untuk belajar ilmu agama Islam di negeri Malabar, India. Setelah menamatkan kajian agama Islam, beliau menumpang kapal dagang dan singgah di Johor. Dari Johor beliau balik ke Patani yang kemudian dilantik oleh Raja Kuning sebagai Panglima Agung Tentara Patani dengan gelar Tumenggung Seri Paduka Nik Ali. Dari keturunan Faqih Ali ini-lah banyak melahirkan keturunan yang memakai gelar wan, nik, long yang tersebar di Patani Champa, Kelantan Terengganu termasuk Kepulauan Natuna.
Kepulauan Natuna
Natuna adalah gugusan kepulauan di Laut Cina Selatan di antara Borneo dan Semenanjung Malaysia. Pulau yang terbesar di kepulauan Natuna adalah pulau Bunguran. Pada ketika dahulu, kepulauan Natuna sudah disinggahi pedagang dari berbagai negeri seperti Champa, China, Patani Brunei, Majapahit, dan lain-lain. Pulau-pulau ini kerap dijadikan sebagai daerah persinggahan di kala kehabisan air bersih atau tempat berlindung di kala kena badai.
Sebagai bukti bahwa pulau ini telah disinggahi dan dijadikan tempat berlindung oleh para pedagang yakni banyak ditemukan barang-barang keramik yang memiliki umur seribuan tahun. Masyarakat Natuna masih sering menemukan barang-barang keramik seperti cangkir, piring, mangkok buatan Cina.
Keberadaan pulau-pulau Natuna di tengah Laut Cina Selatan adalah sangat wajar apabila dijadikan sebagai tempat persinggahan untuk berteduh, karena Laut Cina Selatan dikenal sangat ekstrim di kala musim utara dengan ombaknya yang besar disertai badai.
Pemerintahan di Natuna diperkirakan dimulai pada akhir abad ke-16. Ditandai dengan adanya pemerintahan yang dipimpin oleh orang kaya, yaitu Orang Kaya Serindit bergelar Orang Kaya Dina Mahkota. Beberapa orang kaya yang pernah memimpin pulau Bunguran, yaitu (1) Orang Kaya Serindit, (2) Orang Kaya Kumentak, (3) Orang Kaya Jetung, (4) Orang Kaya Aling, (5) Orang Kaya Liak, (6) Orang Kaya Kumbang, (7) Orang Kaya Muhammad bergelar Orang Kaya Penibung.
Pada masa pemerintahan Orang Kaya Muhammad inilah terjadi penghijrahan kerabat keturunan wan ke pulau Bunguran, yaitu penghijrahan beberapa kerabat Datuk Wan Lingkai al-Fathani sebagai akibat perang di negeri Jambu/Patani.
“….tersebutlah negeri Patani dialahkan oleh Siam, kampong bernama Jambu. Dua kali serang barulah Patani kalah…”
Dalam penghijrahan, kerabat wan ini mempunyai beberapa negeri tujuan. Dituliskan, “…. yang lepas 3 orang menterinya serta anak bininya yaitu Datuk Wan Kobat pindah ke Terengganu, Datuk Wan Muda pindah ke Kedah dan Wan Lingkai…. berlayar menuju pulau Bunguran…”
Rombongan Datuk Wan Lingkai selamat sampai di Bunguran. Setelah beberapa lama, maka datanglah Orang Kaya Muhammad bin Orang Kaya Kumbang untuk bertemu dengan Datuk Wan Lingkai. Setelah bertemu, maka dijelaskan oleh Wan Lingkai, “… sebab saya datang kesini, negeri saya dikalahkan oleh Siam…. saya datang bukan hendak menjadi raja, saya datang hendak menjadi hamba raja di sini….”
Mendengar jawaban Datuk Wan Lingkai maka Orang Kaya Muhammad berundur ke Sungai Penibung. Kira-kira tiga bulan kemudian datang lagi Orang Kaya Muhammad untuk membawa Datuk Wan Lingkai menghadap Sultan Abdul Jalil di Johor. Pergilah mereka untuk bertemu di Teluk Rambunia lalu menghadap keduanya kepada Sultan Abdul Jalil.
Setelah menghadap Sultan Abdul Jalil, maka baginda bertanya kepada Orang Kaya Muhammad dan Orang Kaya Muhammad pun mempermaklumkan perihal kedatangan Datuk Wan Lingkai dari awal hingga akhir. Kemudian sultan memeriksa Datuk Wan Lingkai, ia pun datang bersembah dari awal dipukul Siam akan Patani hingga sampai ke pulau Bunguran.
Sultan Abdul Jalil pun bertitah, “Bergilirlah memerintah dan jangan sampai berkelahi….” Kemudian mereka kembali ke pulau Bunguran. Tak berapa lama setelah kembali ke Bunguran, maka meninggallah Orang Kaya Muhammad bergelar Orang Kaya Penibung. Berdasarkan titah Sultan, maka diangkatlah Wan Gilap anak Wan Lingkai sebagai Orang Kaya Bunguran.
Datuk Wan Lingkai menikah lagi dengan saudara kandung Orang Kaya Muhammad yaitu Putri Seri Bulan binti Orang Kaya Kumbang. Dari pernikahan ini, Wan Lingkai mendapat dua orang anak, yaitu Wan Taklim dan Wan Hakim.
Keturunan Wan Lingkai banyak menyebar di kepulauan Natuna, Anambas dan Tanjungpinang. Sebahagian keturunan Wan Lingkai melalui Wan Taklim sudah dapat dijejaki sedangkan keturunan Wan Hakim dan keturunan anak saudara Wan Lingkai masih belum diketahui keberadaanya. Keturunan wan di kepulauan Natuna sebahagian besar berasal dari negeri Patani dan salasilah mereka tersambung kepada salasilah Nik Ali atau Faqih Ali al-Malabari.
(editor DIN/fotowww.artmelayu.blogspot.com)