
oleh Yogi Dwi Pradana
Membaca suatu balada menjadi sebuah ketertarikan sendiri. Balada yang mampu mengarahkan kita untuk memecahkan teka-teki adalah balada karya Rendra. Di dalam balada-balada karya Rendra, kita diajak berpikir siapa yang sebenarnya sedang berbicara dalam sajaknya. Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa balada-balada Rendra muncul karena pengaruh Federico Garcia Lorca. Hal ini sangat terlihat dalam buku Rendra yang berjudul “Ballada Orang-orang Tercinta”. Dalam buku tersebut disajikan balada-balada Rendra, tapi sebagai pembaca agaknya kita diajak berpikir, Rendra atau Lorca yang berbicara dalam sana?
Sajak-sajak Rendra yang ada di dalam buku “Ballada Orang-orang Tercinta” ini mengisahkan tentang seorang pemuda yang baru saja akan beralih menuju masa dewasa. Tentu saja pada usia pertengahan tersebut agaknya membuat seseorang untuk mencari jati dirinya. Begitu pun dengan sajak-sajak yang ada dalam buku balada Rendra. Ada seorang kritikus sastra yang mengatakan bahwa buku ini layak dibaca oleh seorang yang berusia di bawah 40 tahun kala itu, tapi dengan catatan seorang yang berusia di atas 40 tahun pun bisa membaca buku balada Rendra jika memang bisa membawa dirinya menyesuaikan zaman. Dalam sebuah esai yang berjudul “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca”, bahwa isi-isi dalam buku yang berjudul “Ballada Orang-orang Tercinta” ini merupakan kegundahan hati seorang pemuda. Namun, dalam catatan bukan sebuah sajak yang curhat atau sajak yang alay. Dalam buku tersebut terdapat balada yang berjudul “Ballada Petualang”, “Ballada Lelaki yang Luka”, dan “Anak yang Angkuh”. Dalam ketiga balada yang terpilih menjadi contoh itu dapat diambil kesimpulan bahwa isinya adalah seorang anak yang mempunyai keinginan untuk hidup mandiri. Terlebih bisa ditafsirkan bahwasanya seorang lelaki memang ingin menjadi seorang yang mandiri sejak dini.
Biasanya orang-orang melihat suatu sajak dari biografi penyair, tapi jika tidak ada cantuman biografi penyair bagaimana? Hal itu bisa ditelisik dari tubuh sajak yang tertulis. Namun, karena nama seorang Rendra sudah begitu menjulang, maka bisa ditelisik dari biografi pribadi Rendra. Rendra adalah seorang yang sangat menggemari drama. Beliau ini sangat menekuni dunia kesusastraan dan sangat tertarik pada sebuah drama. Kembali dalam buku “Ballada Orang-orang Tercinta”, di sana dapat kita temui sosok Rendra yang menggemari drama. Terlihat dari diksi yang dipakai dan tema yang diangkat Rendra hampir sebagian besar dari pengalaman dramatik seorang penulis. Teeuw, seorang kritikus sastra, mengatakan bahwa ia mengagumi sajak-sajak Rendra, tapi belum dengan karya cerita pendek Rendra. Menurutnya, cerita pendek Rendra ini masih seperti kekanak-kanakan. Berbeda dengan sajak-sajak Rendra yang terlihat sederhana tapi mampu mengolah dengan permainan puitis yang berbeda dari yang lain.
Proses menulis kreatif seseorang yang satu dengan yang lain tentu saja akan ada perbedaan. Begitu pun dengan proses kreatif yang dilakukan oleh seorang penyair kondang, Rendra. Sebenarnya dalam menulis sajak itu bukan apa yang akan disampaikan yang menjadi masalah, tapi yang utama adalah bagaimana menyampaikan suatu masalah tersebut. Dalam buku Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Bilang Begini, Maksudnya Begitu” juga dijelaskan bagaimana cara mengolah sebuah sajak yang sederhana menjadi luar biasa. Namun, jangan disangka menulis puisi itu sebuah pekerjaan yang mudah, meskipun terlihat puisi yang singkat, tapi belum tentu dalam menulisnya hanya dibutuhkan waktu yang singkat pula. Bahkan, saya sendiri menemui ada puisi yang di catatan tahun penulisan tertulis dalam jangka 2017-2019. Terbukti bahwa menulis puisi tidak bisa dengan sekali duduk dan sekali jadi, tapi ada juga orang yang bisa menulis puisi dengan sekali jadi dan sekali duduk. Kembali lagi pada pernyataan di atas bahwa proses kreatif seseorang akan berbeda dari yang satu dengan yang lain.
Sajak-sajak Rendra jika diibaratkan dengan seni lukis bisa diisaratkan sebagai sajak yang kasatmata. Dengan ilham menulis puisi yang didapat dari pancaindera ini mampu mengarahkan Rendra untuk menulis puisi yang imaji. Jika Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai seorang penyair yang liris, maka Rendra dikenal sebagai seorang penyair yang mengusung balada ala dirinya sendiri. Puisi-puisi balada Rendra ini masih mudah dicerna untuk pembaca, berbeda dengan puisi gelap milik Afrizal Malna. Tapi, jika kita bisa menemukan sebuah maksud yang disampaikan oleh Afrizal Malna, tidak menutup kemungkinan kita akan merasakan kepuasan tersendiri karena berhasil memainkan teka-teki yang dibuat seorang penyair dan kita bisa masuk melalui pintu-pintu yang disediakan penyair. Sajak-sajak milik Rendra ini sebenarnya sajak yang sederhana, hanya saja karena beliau mampu memainkan sebuah metafora yang luar biasa, maka menjadi sajak yang hidup dan kuat.
Patima! Patima!
ditebahnya gerbang makam
demi segala peri dan puntianak
diguncangnya segala tidur pepokok kemboja
dibangunkan segala arwah kubur-kubur rengkah
dan dengan suara segaib angin padang belantara
dilagukan masmur dan leher tembaga
mendukung muka kalap tengadah ke pusat kutuk
Di atas adalah kutipan bait 1 yang dalam sajak Rendra yang berjudul “Kasan dan Patima”. Sangat terlihat dalam balada Rendra suasana dusun yang sangat kentara dan masih dengan keasliannya. Dalam Buletin Lampu Tidurmu, saya juga menemukan seorang penulis puisi yang saat itu menjadi juara II dalam perlombaan. Dia adalah Novan Leany, dalam bionarasi yang ia cantumkan tertulis kutipan dari seorang sastrawan bernama Bang MZ, “Kenapa tidak menulis tentang kampungmu?”. Faisal Oddang juga merupakan sosok penulis yang sering mengangkat lokalitas dalam karya-karyanya. Begitu pun sosok yang menjadi pengaruh penting dalam terciptanya sajak-sajak Rendra, Federico Garcia Lorca yang terkenal dengan Andalusia-nya. Meskipun menulis tentang lokalitas butuh riset yang mendalam, tapi jika sudah menjadi sebuah tulisan maka yakinlah akan menjadi karya yang luar biasa dan sangat enak untuk dinikmati.
Dulu sebelum muncul balada-balada Rendra sudah ada sajak-sajak yang hampir menyerupai dengan balada Rendra. Sajak yang menyerupai balada Rendra adalah “Hang Tuah” dan “Batu Belah” karya Amir Hamzah. Balada Rendra tidak berhenti pada buku “Ballada Orang-orang Tercinta”, tapi berlanjut dalam sebuah buku yang berjudul “Blues untuk Bonnie”. Tertulis dalam buku “Blues untuk Bonnie” ada sajak yang berjudul “Nyanyian Angsa” dan “Khotbah”. Kedua sajak tersebut juga bisa digolongkan dalam balada. Hanya saja kedua sajak tersebut merupakan balada yang sudah mengalami perkembangan seiring perkembangan kemampuan Rendra.
Dalam perlombaan menulis puisi, seringkali ditemukan sebuah karya yang menjadi jawara adalah yang mengusung lokalitas. Namun, ada pula beberapa perlombaan yang dimenangkan oleh sajak-sajak yang bertema balada. Seperti sajak yang berjudul “Balada Kematian Ranggalawe” milik Yohan Fikri yang berhasil menjadi Juara II dalam perlombaan menulis puisi Asia Tenggara yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret 2020. Memang benar adanya puisi narasi balada ini menarik untuk ditulis dan diulas lebih dalam.
Balada Rendra ini mampu menemukan citraan-citraan yang segar dan mampu menggugah selera pembaca untuk terjun dalam sajak lebih jauh. Rendra mampu memberikan metafora-metafora yang segar dan baru. Rendra sangat sedikit menggunakan persamaan-persamaan dalam baladanya, beliau lebih sering menggunakan metafora-metafora. Berbeda dengan Chairil Anwar yang lebih sering menggunakan persamaan-persamaan dalam sajaknya sebagai tanda penguatan. Karena berlatar belakang di dusun, maka metafora-metafora yang lahir dalam sajak Rendra juga mengangkat lokalitas dusun yang masih asri.
Yogyakarta, 10 Mei 2021.
(ilustrasi oleh Ramanyar)