
Kegiatan kolektif yang terus diselenggarakan setiap tahunnya di bulan Ramadan adalah Muhibah Ramadan. Kegiatan ini berpusat di dua kecamatan, yaitu Pulau Tiga dan Pulau Tiga Barat, yang sebelumnya masih dalam satu wilayah administrasi sebelum terjadi pemekaran.
Muhibah Ramadan dimanfaatkan sebagai ajang silaturahmi antarmasyarakat-antardesa. Pasalnya tidak semua desa berada di satu tanah dengan desa lain. Untuk mencapainya harus menggunakan transportasi laut seperti pompong atau speed boat berukuran kecil. kegiatan kunjung-mengunjungi tersebut akan mempertemukan handai tolan dan sanak saudara yang tempat tinggalnya dipisahkan oleh laut. Terlebih bagi mereka yang sudah lama tidak saling berkunjung. Wajar saja jika masyarakat di dua kecamatan itu menyambut gembira kegiatan muhibbah Ramadan. Hubungan antarpulau menjadi semakin akrab dan sebagai sarana mengakrabkan antar sesama penduduk kepulauan. Jadi bukan hanya sekadar mengikuti kegiatan Muhibbah Ramadan semata. Rasa dan hasrat ingin bertemu tidak sama dengan mereka yang berada di satu tanah, seperti pulau Bunguran.
Muhibah Ramadan ini bukan sekadar mengunjungi rumah ke rumah. Kegiatan ini dibarengi dengan mengirimkan kafilah dari tiap desa dengan membawa nama masjid atau surau masing-masing untuk tadarus bersama. Setiap desa mendapat giliran menjadi tuan rumah. Mereka mempersiapkan segala penyambutan, makanan, tempat singgah tiap kafilah, sampai penutupan. Kegiatan ini terus berlangsung sampai dua puluh Ramadan.
Muhibah Ramadan diperkirakan sudah ada sebelum tahun 1970-an. Pada saat itu Pulau Tiga dan Pulau Tiga Barat masih menyatu dengan Kecamatan Bunguran Barat. Maka tidak heran kalau kegiatan serupa juga dipernah dilakukan di Sedanau. Masa dulu, enam bulan menjelang Ramadan, setiap desa mempersiapkan kafilah yang nantinya akan menjadi perwakilan dalam Muhibbah Ramadan pada masa itu. Hal itu dilakukan untuk menampilkan utusan-utusan terbaik dari setiap desa. Mereka dilatih untuk mendapatkan performa terbaik.
Muhibah Ramadan di Pulau Tiga dan Pulau Tiga Barat terasa lebih menarik ketika kegiatan serupa yang ada di wilayah lain sudah bergeser fungsi dan maknanya. Masyarakat lebih sering mendengar safari Ramadan yang dilakukan oleh pemerintah daerah ke masjid atau surau di beberapa wilayah. Pun itu sebagai formalitas di bulan Ramadan. Walaupun sama-sama berkunjung, tetapi kualitas kunjungannya tidak dapat dipungkiri masih terus dijaga oleh dua kecamatan tersebut, Pulau Tiga dan Pulau Tiga Barat.
Kegiatan ini tidak dikhususkan untuk masyarakat di daerah tersebut saja, setiap desa dapat mengundang kafilah dari luar kecamatan, seperti Setengar dan Pian Tengah. Tetapi mereka tidak ikut serta menjadi tuan rumah. Juga mengundang tamu dari pulau Bunguran seperti, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Kementerian Agama Natuna, dan lain-lain. Tetapi juga harus diperhatikan tidak bisa sembarang orang datang tanpa konfirmasi, sebab makanan yang disediakan disesuaikan dengan jumlah peserta dan tamu yang hadir.
Mari saya gambarkan bagaimana secara umum kegiatan muhibah Ramadan berlangsung setiap desanya. Beberapa hari menjelang, tuan rumah menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan kunjungan muhibah Ramadan. Mulai dari rumah penduduk yang dipersiapkan untuk menjamu kafilah dan tamu yang datang, bersih-bersih masjid/surau, memasak, latihan musik, penyusunan panitia, dan lain-lain.
Sampai pada hari pelaksanaan, petugas dan penyambut tamu sudah bersiap di ujung pelabuhan. Terdapat tim musik yang membawakan lagu-lagu rohani lengkap dengan alat musik dan pakaian kurung Melayu. Ada pewara yang bertugas mengucapkan selamat datang dan informasi rumah singgah, juga ada pemerintah desa yang ikut menyambut. Tim musik akan memainkan keterampilannya jika dari kejauhan sudah terlihat kendaraan kafilah mendekati pelabuhan. Untuk membedakannya, setiap kendaraan yang ditumpangi kafilah menegakkan bendera kafilah yang bertuliskan masjid atau surau masing-masing. Setiap kafilah mengirimkan lima perwakilan, satu orang laki-laki sebagai ketua rombongan, dua perempuan dan dua laki-laki. Tetapi bisa juga ikut serta beberapa orang.
Setelah bersandar di pelabuhan, kafilah langsung disambut oleh panitia dan perangkat desa. Lalu kafilah akan diarahkan ke rumah salah satu penduduk yang sudah dipersiapkan. Selain tempat singgah, rumah ini juga menyiapkan lauk-pauk untuk berbuka. Tiap kafilah mendapatkan rumah singgahnya masing-masing.
Penyambutan berlangsung sampai semua kafilah dan tamu undangan sudah datang. Kafilah yang berada di satu tanah dengan tuan rumah cukup melapor kepada panitia. Sesudah itu, bersiap-siap menunggu waktu berbuka. Biasanya ditandai dengan sirine yang berpusat di surau/masjid.

Hadapan kafilah dan tamu undangan sudah tersaji dulang atau talam atau cipir atau nampan berisikan menu berbuka. Namun dipersilakan terlebih dahulu menikmati air kelapa sirup merah dan semangka sekadar untuk membatalkan puasa. Selanjutnya, kafilah dan tamu undangan melaksanakan salat Magrib berjamaah di masjid atau surau. Setelah itu, mereka kembali ke rumah singgah untuk menikmati makan berat. Di situ sudah tersaji lauk pauk, seperti ikan, sayur, sambal belacan, dan aneka lainnya. Masyarakat menyebutnya dengan makan bedulang. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama dan menjadi nilai budaya yang patut dipertahankan. Dalam satu dulang, diisi oleh empat orang. Setiap orang bebas memilih tempat dulang. Antara satu dulang dengan dulang yang lain punya menu yang sama, jadi tidak ada perbedaan. Silaturahmi hadir di dalam makan bedulang ini. Sebab satu dengan yang lainnya saling menanya kabar atau kelakar.
Sehabis makan bedulang, sambil menunggu waktu sembahyang Isya tiba, keakrabant terlihat antara satu dengan yang lain karena begitu hangatnya obrolan. Tidak ada perbedaan antara satu orang dengan yang lain, misalnya antara kepala dinas dengan masyarakat biasa. Semua dapat berbaur.
Sampai waktu Isya, ramai-ramai melaksanakan salat Isya berjamaah dilanjutkan dengan salat sunah tarawih. Sesudah itu, barulah kegiatan utama muhibbah Ramadan dimulai. Setelah beberapa menit istirahat salat tarawih, acara dibuka dengan pembacaan ayat suci al-quran. Berikutnya, pewara akan menyampaikan susunan acara. Lalu, pewara mempersilakan kata sambutan yang umumnya diisi oleh kepala desa tuan rumah, perwakilan kafilah, dan camat. Selanjutnya ceramah agama yang diisi oleh penceramah yang berasal dari kecamatan maupun di luar kecamatan.
Tidak sampai di sini, setelah ceramah agama selesai, jamaah dipersilakan mencicipi penganan kampung yang sudah disiapkan dalam dulang di selasar atau lorong ruangan. Masyarakat kembali berbaur dengan ditemani teh atau susu hangat. Sembari panitia menyiapkan hal-hal yang berkaitan dengan tadarus al-quran. Tempat tadarus laki-laki dan perempuan dipisahkan menjadi dua. Beberapa rombongan yang memilih untuk pulang lebih dahulu biasanya dipersilakan untuk makan kembali. Makan bersama ini dianggap sebagai sahur. Lauk dan ragamnya disajikan dalam dulang, tidak ada perbedaan menu saat berbuka. Hal itu juga berlaku jika kegiatan tadarus usai, tiap rumah akan menyiapkan dulang untuk makan bersama sebelum pulang.
Transportasi biasanya disediakan, sehingga rombongan dapat mengonfirmasi kapan datang dan pulang. Pompong atau speed boat siap mengantar sampai ke seberang. Transportasi yang digunakan kafilah biasanya akan menambatkan tali, artinya akan berlabuh sampai kafilah pulang. Lalu keesokannya, kegiatan dilakukan seperti itu sampai pada hari penutupan.
Walaupun formulanya sama, tetapi tetap ada saja hal-hal menarik yang ditampilkan tiap desa. Seperti tadarus yang dilombakan, penyambutan dengan kompang dan silat, pengalungan bunga, pemasangan gerbang, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan keputusan tiap desa tanpa mengubah format utama.
Kunjungan Ramadan semacam ini yang menjadikan Pulau Tiga dan Pulau Tiga Barat memiliki kekuatan untuk saling menjaga dan mempertahankan kebudayaan yang mereka miliki. Kegiatan ini sebagai bentuk penguatan jati diri Melayu dan Islam yang melebur menjadi konstruksi budaya yang kukuh.
(DIN-toknyong.com)