
oleh: Nova Lina Syukri
“Obat hati dari dua sejoli saling mencinta adalah menikah. Bersatu dalam ikatan suci dan diridhoi Allah Swt..” Sebaik-baiknya manusia adalah yang mampu menjaga fitrahnya. Jika pacaran akan merusak fitrahnya, maka langkah tepatnya adalah menikah. Menikah adalah jalan menjaga fitrah, bahkan mencegah kita terjerumus dari maksiat berkhalwat (berdua-duaan).
Aku termasuk guru yang mencari-cari dan mengaitkan materi pergaulan dalam pembelajaran. Kenapa tidak? persoalan hamil di luar nikah selalu ada setiap tahun. Sebisa mungkin aku memberikan mereka tema pergaulan remaja, apalagi kisah kasih mereka. Aku selalu ingat nasihat Bunda Elly Risman (psikolog): “Generasi kita rusak gegara tontonan (salah satunya), mereka melihat pornografi dan pornoaksi, bahkan sudah menjadi lifestyle. Sementara mereka tidak menyadari, otak yang sudah disuguhi pornografi dan pornoaksi itu sama dengan gegernya otak seseorang karena kecelakaan.” Artinya, pornografi dan pornoaksi adalah gerbang rusaknya generasi kita. (Youtube: Elly Risman, S. Psi – Zina sudah menjadi Lifestyle). Maka wajar terjadi hal-hal yang membuat geger orang sekitar.
Persoalan ini bukanlah mainan, patut menjadi perhatian utama bagi kita. Semakin banyak ‘otak yang geger’, maka semakin ‘geger’ juga generasi ini. Persoalan ini pastinya menjadi makanan harian pakar-pakar tertentu. Semua pihak bergeliat ingin memperbaiki generasi. Berbagai teknik mereka capai, sekolah islam terpadu pun menjadi favorit orang tua. Walau demikian, di mana pun anaknya sekolah, setiap orang tua pasti bercita-cita anaknya menjadi baik. Kisah buram orang tua pun tak ingin terulang pada anaknya. Dan perlu diingat, memantau tontonan dan pergaulan mereka bukan berarti menuturkan kata “jangan” pada mereka. Sebab kata “Jangan”, justru membuat mereka penasaran dan melakukan hal tersebut. Kata perintahnya diganti menjadi, ”mari…”
Suatu ketika, ada tiga siswa bertanya padaku, “Ibuk, boleh tidak kita menyukai seseorang?” Dia bertanya artinya dia sedang siap menyimakku. Aku pun berceloteh dengan apik hingga tangisku tumpah. Ia tersentuh, sebab aku menyampaikan risiko dan kebaikan dalam menjaga rasa suka. Aku berusaha meyakinkannya akan kebesaran Allah Swt. Allah itu tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya, al jaza’ minjinsil amal (balasan sesuai amal perbuatan), Ustad Hanan Attaki sering melontarkan itu. Aku masih ingat hari itu, tetapi hari ini… salah seorang anak yang mendengarkan nasihatku itu justru melanggar hal tersebut, hal yang tak diinginkan pun terjadi. Ia melanggar ayat-ayat yang Allah sampaikan padanya.
Memang begitu adanya. Buktinya, selama aku empat tahun di daerah penempatan, selalu saja ada remaja menikah setamat SMP. Aku tidak menelusuri lebih lanjut penyebabnya. Tapi, aku tak pungkiri, pornografi dan pornoaksi bisa menjadi salah satu penyebabnya. Dari mana mereka tahu kalau bukan dari tontonan. Belum lagi faktor lain, (maaf) miras menjadi hal biasa, terbuka di depan umum dan pelajar-pelajar melihat itu. Remaja-remaja pun kehilangan figur yang baik, wajar terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Remaja kehilangan figur baik, jika pun ada itu tertutupi figur tak baiknya.
Padahal, menikah bukan persoalan yang salah. Jika sudah siap, tak payah kita izinkan. Kita pun bisa memperhelatkannya. Tapi, yang dikhawatirkan mereka itu belum siap psikologi, biologis, dan religinya. Dari segi religi bisa kita sadari: ia tidak siap membimbing anaknya dalam ibadah, sementara ia bercita-cita anaknya menjadi saleh/salihah. Tentu bukan sesuatu yang masuk akal, hal omong kosong-ibu tak mengaji bagaimana anak akan mengaji? padahal ibu adalah ujung tombak pendidikan anak-anaknya kelak. Artinya, seorang calon ibu mesti menimba ilmu terlebih dahulu dan pendidikan adalah jawabannya.
Fenomena remaja menikah tamat SMP selalu ada, baik di pulau besar maupun pulau kecil ini. Jika itu tak terelakkan, maka sepatutnya kita persiapkan mereka menjadi orang tua muda. Ya, Mau bagaimana lagi? ini bertujuan menekan kemudaratan yang datang. Persoalan kita bukan tentang setuju atau tidak setuju terkait pernikahan setamat SMP, tetapi menekan angka perceraian, menekan angka kebodohan, dan ketidaktahuan mereka secara psikologis, biologis, ataupun religis. Tentunya mereka belum matang secara psikologis, keputusan masih berdasarkan emosi, makanya anak remaja butuh arahan dan bimbingan. Masa mereka adalah sekolah.
Sekolah menengah pertama memiliki guru BK, IPA, dan Agama. Ketiga komponen ilmu ini tentu dapat berperan aktif untuk menanamkan kesiapan anak dalam pernikahan dini. Tak dipungkiri, jika anak tidak melanjutkan pendidikan, maka orang tua akan menikahkannya. Orang tua akan memperhelatkan anak-anaknya, apalagi anak perempuan. Bagi sebagian orang ini bukan pembahasan baru lagi, ini hanya persoalan biasa. Padahal ini menjadi hal yang penting untuk di kedepankan dan disolusikan. Kita butuh generasi yang baik.
Di sekolah, ada satu program yang bisa meminimalisasi kemudaratan yang dikhawatirkan, yakni: Rohis. Sebagian besar sekolah sudah menerapkannya, sementara sebagian yang lain belum. Forumnya dibagi atas forum ar-rijal (laki-laki) dan an-nisa’ (perempuan). Pembahasan akan mengerucut sesuai jenis kelamin mereka. Sebab, ada pembahasan yang etis dibahas sesuai genre saja. Oleh sebab itu, persoalan pergaulan atau tontonan bisa dibahas lebih baik di sana.
Hal yang paling teruk lagi adalah kasus hamil di luar nikah, na’uzubillah. Orang tua dan guru dibuat kehabisan cara olehnya. Jika ada ‘Toa’ ingin kita sampaikan, “tolong jangan ganggu siswa/i kami, tolong jangan ganggu mantan siswa kami, dia masih sekolah dan punya cita-cita. Usah kau pacari dia, apalagi merusak dia. Jika kau menginginkan dia, maka bersabarlah itu lebih baik bagimu.”
Ya, begitulah. Fenomena di sekitar kita, hal biasa dan terus begitu saja. Lagi dan lagi, bagi kita yang tidak lelah, mari ambil hikmah dan tentukan solusinya, lalu perbaikilah. Ya …, solusi di mana ‘tangan’ kita sampai menjangkaunya saja. Jika telah menyampaikan kepada remaja-remaja itu, maka kita tak akan merasa bersalah ketika remaja itu melakukan kesalahan.
Mari Teman, kita bangun generasi dengan cara pandang masa depan cerah. Dalam arti kata, kita tuntun mereka ke kegiatan-kegiatan positif, pantau tontonan mereka dan pantau pergaulan mereka. Wallahu a’lam bishawab.
Nova Lina Syukri, S.Pd., Gr. guru SMP Negeri Satu Atap Pulau Panjang, Kecamatan Subi, Natuna