
Sebuah dinding ditempeli lembar-lembar fotokopi cerpen, puisi, artikel, dan sampul buku karya B.M. Syamsuddin. Lampu berwarna kuning dan dua kursi di tengah panggung kecil-sederhana itu menjadi sebuah pandangan yang menarik bagi setiap pengunjung yang hadir di Kedai Sepertiga Malam. Sehabis salat Isya, satu per satu kursi mulai diduduki, makanan dan minuman mulai tersaji di meja mereka, sambil menanti acara dimulai. Beberapa mata memandang ke sisi dalam kedai yang memperlihatkan galeri karya B.M. Syamsuddin yang lain. Karya-karya itu bergantungan dan bergoyang terkena angin.
Malam Minggu, 20 Februari 2021, tepat 24 tahun yang lalu, B.M. Syamsuddin meninggal dunia di Riau. B.M. Syamsuddin bukanlah nama asing di tanah Riau daratan dan kepulauan. Beliau adalah salah satu maestro dalam bidang budaya dan sastra. karya-karyanya telah menembus media cetak sampai tinggal nasional. Karya-karyanya memberi dampak yang berkepanjangan terhadap Riau dan Kepulauan Riau. Tetapi sejak 24 tahun lalu sampai sekarang, B.M. Syamsuddin seperti bukan siapa-siapa lagi. Padahal, tulisan-tulisannya telah berhasil mengenalkan Natuna ke tingkat nasional. Seperti buku Cerita Rakyat dari Natuna menjadi sumber utama untuk perlombaan mendongeng atau lomba bercerita tingkat kabupaten Natuna. Karya-karyanya yang lain pula menjadi objek material bagi mahasiswa. Namanya seperti terendam dan mendekam di dasar laut.
Atas dasar hal itu, wajar kiranya Natunasastra menggelar acara diskusi bertajuk Malam B.M. Syamsuddin. Acara ini juga sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan sederhana kepada karya dan B.M. Syamsuddin atas kerja budaya yang dilakukan semasa hidupnya. Sebagai penampilan pembuka, Okta perwakilan dari Lasak Smanda menampilkan pembacaan potongan cerpen B.M. Syamsuddin yang berjudul Cengkeh pun Berbunga di Natuna, cerpennya yang masuk dalam cerpen pilihan Kompas tahun 1996. Selanjutnya acara dibawakan oleh Deri Adesti dari Mbe Cite Kelarik dengan cair dan santai. Sebelum masuk ke inti acara, Deri menanyakan ke beberapa pengunjung tentang pengalaman pembacaan mereka terhadap karya B.M. Syamsuddin. Ada yang menjawab pernah dan ada yang belum sama sekali. Selanjutnya acara diserahkan kepada moderator sekaligus pemantik, Destriyadi Imam Nuryaddin. Tidak sendirian, Destriyadi mempersilakan seorang perempuan yang memakai baju merah untuk hadir bersamanya. Perempuan itu tak lain dan tak bukan adalah putri kesayangan B.M. Syamsuddin, Rita Rupiati. Ia menyampaikan hal-hal yang terdengar miris dan menyedihkan mengenai karya-karya ayahnya yang di masa sekarang seperti ada dan tiada. Juga kekesalan disampaikan oleh Arifin Mawi, suami dari Rita Rupiati, yang juga ikut memperjuangkan agar karya-karya beliau hadir di perpustakaan sekolah di Natuna. Diskusi semakin hangat dan mewah dengan sambutan penanggap di meja depan panggung. Diskusi ulet juga terjadi saat Hadisun selaku kepala bidang kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, menyampaikan usaha mereka atas penerbitan buku yang selalu terkendala soal anggaran. Artinya, upaya sudah dilakukan tetapi tetap terbentur dengan hal lain yang lebih berkuasa. Pengalaman pertemuan dengan B.M. Syamsuddin juga disampaikan Jamiat, keponakan dari B.M. Syamsuddin. Diakuinya, B.M. Syamsuddin adalah sosok yang berjiwa seni. Satu kenangan yang masih diingatnya ketika B.M. Syamsuddin membawa rombongan teater tradisi mendu ke Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mewakili provinsi Riau. Dalam kenangannya itu, terlihat ia meneteskan air mata dan menarik dua helai tisu. Rita Rupiati menyayangkan kenapa orang luar begitu ingin karya-karya B.M. Syamsuddin diterbitkan ulang, sedangkan di tanah kelahirannya sendiri seakan-akan tidak pernah dipedulikan. Walaupun sempat turun gerimis, acara tetap berjalan dengan hangat. Apalagi beberapa pengunjung memberikan saran sebagai bentuk penghargaan kepada karya-karya B.M. Syamsuddin berupa monumen B.M. Syamsuddin, menggunakan nama B.M. Syamsuddin sebagai nama perpustakaan daerah Natuna, dan digitalisasi karya-karya B.M. Syamsuddin agar lebih mudah ditemukan.
Sebelum acara dikembalikan ke pewara, Rita Rupiati membacakan puisi untuk ayahnya tercinta. Air matanya pun menetes. Lalu pewara mempersilakan penampilan pembacaan puisi yang berjudul Keluh Langkang Kapal Tua oleh Ostivia, siswi MAN 1 Natuna sekaligus anggota Natunasastra. Juga pengujung acara diberikan tiga buku karangan penulis Natuna untuk tiga orang yang beruntung. Lalu dilanjutkan sesi foto.
(toknyong.com-din)