
Cerpen Bulan Nurguna
Uang Tunai
“Saat susah begini, makin banyak yang ingin Ibu makan.”
“Ya, sudah. Beli saja. Bukankah uang kita banyak?”
“Ah, tapi kan situasi ini belum jelas selesainya kapan.”
“Anggap saja kita mati besok, jadi hari ini kita puas-puasin.”
“Uang itu kan bukan hanya untuk kita berdua. Tapi kita juga mesti ingat adik-adikmu di ibu kota.”
“Ya, sudah. Kita tidak perlu makan enak. Beli tempe saja satu papan. Beres.”
“Tapi Ibu ingin daging sapi, ingin buat rendang.”
Sebenarnya ingin kuingatkan ibuku, bahwa kejadian seperti ini akan terus berulang. Perang di negara lain, perang di negara sendiri, terorisme, gunung meletus, dan kejadian-kejadian bahaya lainnya yang membuat ekonomi menjadi tidak stabil, terutama pada sektor pariwisata.
“Seandainya Ibu tidak memberi utang orang-orang tidak tahu diri itu,” kataku akhirnya, “pasti sekarang uang kita sudah dua kali lipat dari uang yang ada di tabungan, dan kekhawatiran kita jauh lebih berkurang.”
“Kamu juga, tidak mengingatkan Ibu.”
“Bagaimana bisa diingatkan, orang bicara satu kali Ibu sudah bersedia mengeluarkan puluhan, bahkan ratusan juta. Ini namanya kita disiksa oleh harta sendiri.”
“Ya, sudah. Terus apa lagi?”
“Oh ya. Tentang barang-barang kita. Saat begini kan kita tidak bisa makan bed cover, panci mahal, atau sofa ruang tamu. Buat apa sih Ibu tetap membeli barang-barang yang sudah kita punya dan masih bagus keadaannya?”
“Kamu jangan bikin tambah stres.”
“Memangnya Ibu bicara tadi tentang makanan yang Ibu ingin tapi Ibu tidak mau membelinya itu, tidak bikin stres?”
“Ya, tapi kamu tidak perlu menambahi.”
“Terus kapan aku bisa bicara begini kalau tidak sekarang?” kataku mulai panas,
“Terakhir, ketika Rere kelas dua SMA, Ibu menjanjikannya mobil baru. Padahal uang tunai kita hanya seharga sebuah mobil.” Kali ini kusebut nama adik bungsuku.
“Tapi kan akhirnya Ibu tidak jadi membelikannya.”
“Ibu tidak jadi membelikannya karena keburu gempa. Bagaimana kalau gempanya sebulan setelah Ibu membayar uang muka mobil dan mengambilnya dari dealer? Kita mau membayarnya pakai uang turis yang masih di Hongkong? Begitu? Coba pikirkanlah, Bu, sebelum mengeluarkan uang. Uang yang sudah keluar bukan milik kita lagi, meskipun itu judulnya utang.”
“Ya tetaplah milik kita.”
“Dalam bentuk bayang-bayang! Lihat itu, Bu Mira yang PNS, dia tetap terima gaji di saat wabah begini. Tapi apa? Tidak sedikit pun dia berniat membayar utang pada kita yang tidak menerima apa-apa dari pemerintah. Lihat itu Pak Dewa, keluarganya malah menuduh kita rentenir ketika kita menagih utang, padahal tidak sedikitpun kita meminta bunga.”
“Lalu, kamu keberatan?”
“Jelas aku keberatan. Soalnya selalu aku yang pergi menagih, aku juga yang selalu mengurusi barang-barang yang Ibu beli yang jarang sekali Ibu pakai bahkan tidak pernah Ibu pakai. Pakaian-pakaian yang keburu sempit, sepatu dan tas yang kulitnya terkelupas, mobil yang berbulan-bulan tidak dipakai. Belum lagi pajak, servis, dan asuransi mobil itu membutuhkan banyak uang dan waktu. Kita ini hanya berdua di rumah, tetapi kenapa harus punya mobil lebih dari satu. Bukankah Ibu tidak bisa menyetir dan aku jarang keluar rumah?”
Ibuku hanya diam, dan kini aku mulai bosan bersamanya berminggu-minggu di rumah. Aku mengambil kunci mobil.
“Mau ke mana kamu?” tanya Ibu.
“Keluar.”
“Keluar ke mana? Perumahan kita sedang lockdown.”
“Lockdown angin-anginan. Bosan aku di rumah.”
“Mau ke mana?!”
“Aku mau jual salah satu mobil kita, buat beli sekilo daging untuk puasa pertama,” jawabku kesal.
Safe Deposit Box
Aku memasuki ruangan. Melewati sebuah pintu yang terbuat dari besi stainless yang tebalnya sekitar dua puluh sentimeter. Seorang pegawai bank mempersilakanku. Di dalam, kami berdua membuka sebuah laci dengan dua kunci; satu kunci darinya, dan satu lagi dariku. Sekali lagi ia mempersilakanku, lalu meninggalkanku di dalam ruangan.
Aku kini sendirian bersama lemari-lemari dengan laci-laci yang berjejer dan tersusun dengan nomor-nomor di depannya, lantai berkarpet tebal, tembok putih bersih yang terlihat sangat kokoh.
Aku mengeluarkan sebuah kotak berisi perhiasan emas dari dalam tasku. Memeriksa kembali sebelum menaruhnya bersama benda-benda lainnya di dalam kotak yang sebelumnya kutarik dari dalam laci tersebut. Dengan hati-hati kutaruh kotak tersebut di samping kotak lain yang sudah ada sebelumnya. Kotak yang lain itu, adalah kotak berisi perhiasan emas juga: perhiasan yang tidak pernah kupakai karena terlalu besar, rata-rata warisan dari nenek atau hadiah dari orang tuaku, perhiasan dengan model-model tua.
Sebenarnya, perhiasan-perhiasan yang kubawa hari ini adalah yang biasa aku pakai sehari-hari. Rata-rata dengan bobot gram yang rendah. Ini kulakukan karena perasaan was-was. Bulan puasa sudah memasuki hari ke sepuluh, sedangkan perekonomian begitu lesu. Banyak tempat usaha merumahkan sebagian karyawannya bahkan menutup usahanya sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Kalau sudah begini, apakah ada THR untuk orang-orang yang bekerja di sektor informal? Apakah jumlahnya sama seperti tahun-tahun sebelumnya? Apakah tetap satu kali gaji? Bagaimana kalau rumahku kecurian karena orang-orang sangat membutuhkan uang sedangkan mereka tidak menemukan cara yang halal? Selain itu, ada beberapa artikel yang kubaca mengimbau agar tidak menggunakan perhiasan. Sudah sebulan ini aku tidak pernah memakai perhiasan lagi, jadi tidak ada salahnya menaruh di Safe Deposit Box saja. Bank menyimpan lebih aman daripada rumah sendiri. Ruang ini tahan terhadap kebakaran dan bencana alam, juga dari para pencuri.
Kulihat barang lain yang sebelumnya aku simpan; beberapa sertifikat tanah. Ah, saat-saat seperti ini, investasi properti pastilah begitu lesu. Bagaimana kalau pandemi ini berlangsung setahun? Adakah yang mau membeli salah satu tanah ini dengan harga yang masuk akal? Kemarin kulihat harga-harga penginapan milik orang-orang, mereka memasang tarif yang begitu murah, “harga corona,” kata mereka. Bagaimana kalau harga corona untuk tanahku di bawah harga ketika aku membelinya dulu? Bagaimana bila aku terpaksa menjualnya dengan harga seperti itu?
Aku pun menandatangani buku kunjungan di depan customer service yang tadi mengantarkanku ke Safe Deposit Box. “Oh ya, Bu. Mau sekalian cetak rekening koran ya?” tanyanya dari balik masker dan sekat akrilik yang memisahkan kami.
“Iya, Mbak,” jawabku singkat, sambil mengusap tanganku dengan hand sanitizer.
“Maaf, keperluannya mencetak apa ya, Bu?”
“Saya ingin memeriksa transaksi penginapan saya, Mbak. Karena biasanya pengiriman uang dari Online Travel Agent masuknya ke sini. Maklumlah, usaha kecil. Jadi tidak ada rekening khusus.”
Suara mesin pencetak berderit selagi customer service mengerjakan entah apa di depanku, dengan kedua tangan bersarung karet yang nampak sibuk.
“Uang terakhir anda di rekening sekian ya, Bu,” ia menunjuk angka terakhir di kertas paling belakang dari hasil cetakan itu. “Mohon saldonya tidak kurang dari sepuluh juta, ketika ada auto debit untuk pembayaran SDB tahunannya. Karena kalau tidak, akan dikenakan tarif dua kali lipat. Lebih baik selalu di atas nilai minimum tersebut, agar ketika waktunya bayar tidak lupa. Maaf, Ibu ada rekening lain?”
Setelah kujawab “ada,” ia pun menyarankan untuk mengirim uangku ke rekening yang ini, agar selalu sesuai untuk syarat Safe Deposit Box. Ah, bila situasi perekonomian lesu begini untuk waktu yang panjang, akankah aku masih mampu menyewa kotak itu? Akankah isinya masih lengkap dan tidak kujual dengan harga yang sangat murah?***
Gunungsari-Gang Metro, April-Mei 2020
Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Kini turut terlibat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.