oleh: Ellyzan Katan
Pagi-pagi sekali tetangga saya sudah bersiap untuk pergi bekerja. Dia harus bersiap lebih awal karena tempat kerjanya jauh. Sang tetangga saya itu akan menumpang kendaraan umum untuk sampai ke tempat kerja. Sementara tempat kerja saya, tidaklah terlalu jauh. Tapi mengapa dia tidak pernah terlambat sampai ke tempat kerja dan saya kerap sampai saat bel pas berbunyi?
“Selain disiplin, dia iklas menjalankan semua.”
Dua hal ini penting bagi setiap orang dalam kapasitas, jabatan, profesi apa pun. Tak kira tua atau muda, pokoknya dua hal di atas merupakan modal yang sangat berharga dan perlu ada dalam setiap tenaga kerja kita.
Lantas seperti apakah wujud dari disiplin dan ikhlas itu?
Secara sederhana, orang tua-tua dulu sudah mengajarkan bentuk-bentuk disiplin kepada setiap generasi. Seperti membiasakan seorang anak untuk bangun pagi mengerjakan salat Subuh, sahur pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan pekerjaan rumah yang bisa dikerjakan oleh seorang anak. Kondisi ini merupakan bentuk disiplin yang setiap hari masih berlaku pada keluarga-keluarga muslim di mana pun berada. Bahkan ada tradisi di beberapa tempat untuk memakaikan baju disiplin dalam bertempat tinggal. Misalnya di daerah Sumatera sana, seorang anak laki-laki harus berdiam diri di langgar-langgar pada malam hari. Gunanya, selain untuk mengenalkan anak pada upaya berusaha terlebih dahulu untuk mendapatkan sesuatu, juga untuk menuntut ilmu agama dengan guru ngaji. Proses belajarnya pun berlangsung lama, sampai sang anak dianggap berumur dewasa dan mampu untuk menghadapi dunia kerja.
Berbeda halnya dengan sekarang yang sudah terlanjur dididik melalui cara-cara instan. Setiap generasi yang ada malah menuntut hasil terlebih dahulu tanpa mendahulukan usaha, sehingga terjadilah konflik di dalamnya. Belum apa-apa calon tenaga kerja sudah menghitung upah yang akan diterima. Padahal sedikit tenaga pun belum dikeluarkan.
Buktinya semakin banyak saja job fair yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga swasta dan BUMN, BUMD merasa kewalahan menerima tenaga kerja yang lebih dulu menuntut gaji dibanding kemampuan yang dimiliki. Sementara ketersediaan lapangan kerja tidaklah sebesar apa yang diharapkan. Lapangan pekerjaan yang ada biasanya lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja.
Kita lupa bahwa gaji yang diterima sebenarnya buah dari usaha yang dikerjakan. Bukan yang terjadi sekarang; gaji dulu baru bekerja.
Ha ha, ini mungkin diakibatkan oleh kesalahan metode pembelajaran yang diterima sewaktu kecil dulu. Apa-apa diminta nilai. Hasil ujian dihitung dengan nilai. Dan yang paling dahsyat, ukuran ketakwaan pun dihitung dengan nilai, bukan perilaku dan sikap yang selalu tunduk pada perintah Allah dan nabi. Padahal nilai tidak ada sangkut pautnya dengan kadar ketakwaan seseorang.
Lantas, di mana letak titik sambung antara bekerja dan tenaga kerja? Apakah pada sertifikat keahlian? Atau pada kedekatan dengan sang penyedia pekerjaan? Bila dekat, seperti misalnya Bos PT. A Plus adalah saudara dari abang bapak, tentu akan lebih mudah memasuk seorang keponakan dibandingkan orang lain yang hanya dikenal dari surat lamaran. Malah, kedekatan seperti ini kerap membuat tenaga kerja yang diterima tidak mengurangi sedikit pun statistik pengangguran nasional.
Hmm, sungguh sumbang lagu yang ada sekarang ini. Di satu sisi, lembaga pendidikan kita dengan lantang menyuarakan hasil dari didikan mereka dapat diterima di dunia kerja. Sementara di lapangan, dekat dan tidak dekatlah yang dapat memberi jalan untuk seorang tenaga kerja diterima bekerja di perusahaan. Bukan hasil didikan. Bukan pula hasil sertifikat. Padahal kemajuan bangsa ini diukur oleh setinggi mana pendidikan mampu menciptakan manusia-manusia Indonesia berguna; berguna di dunia kerja, berguna di dunia seni, berguna di dunia dakwah, dan berguna di dunia pengobatan.
Tapi baiklah. Urusan gaji memang tidak bisa kita kesampingkan. (Kan saya juga butuh gaji, Kawan). Jadi janganlah disinggung terlalu jauh soal ramainya tenaga kerja kita yang lebih mendahulukan gaji dibandingkan yang lain. Sementara kualitas diri dikesampingkan.
Ini sebenarnya menjadi bahan renungan. Tidak saja untuk saya yang sudah menjadi bapak. Untuk atok yang punya cucu. Dan juga untuk perempuan yang sudah menjadi mamak. Di mana letak kelemahan “apa-apa nilai” dalam dunia kita sekarang ini? Apakah tidak bisa diperbaiki?
Sepertinya agak sulit untuk diperbaiki.
Tu, lihat. UU pendidikan kita saja sudah membakukan sistem penilaian bagi penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Pun peraturan tuturannya. Belum lagi UU tenaga kerja dan peraturan turunannya, semuanya meletakkan nilai pada selembar kertas ijazah dan sertifikat sebagai pedoman utama. “Apa-apa nilai” menjadi semacam dewa yang harus dipuja kendati sebenarnya “apa-apa nilai” juga enggan untuk dijadikan dewa.
Dia risih. Dia juga bingung bagaimana pemujaan dari seluruh manusia Indonesia dapat dibagi secara rata antara 0 sampai 9? Bukankah itu membingungkan?
“Aku sendiri tak tahu mengapa sampai terjadi demikian,” bisiknya pada seekor lipas yang merayap di bawah dapur saya. Sementara saya, hanya tertegun di sudut pintu sambil memegang segelas kopi suam untuk diminum.
“Kalian tidak tahu, betapa beban moral yang aku emban selama ini sangat tinggi,” suara “apa-apa nilai” hampir serak menahan sesak di dadanya.
Setiap orang yang berhasil menduduki jabatan tertentu di pemerintahan misalnya, selalu menunjukkan kinerja buruk, tetap dipertahankan sebagai pimpinan. Padahal yang lebih baik dari dia, banyak. Hanya karena nilai penilaian yang didapat dari tes kompetensinya tinggi, (hasilnya sudah diatur), orang dimaksud tetap dipertahankan sebagai pimpinan.
“Aku yang kena,” keluh “apa-apa nilai.”
Pernah ada seorang tenaga kerja yang mendapatkan nilai sertifikat tinggi dengan cara memberi tiket PP dan jajan selama sembilan hari di Johor kepada panitia, lulus sebagai kepala teknisi untuk kawasan Asia Timur, malah membuat putus tangan seorang bawahannya dengan sia-sia. Itu karena dia salah memberikan perintah. Dan parahnya lagi, perintah itu diberikan sambil sibuk bermain Free Fire.
“Apa-apa nilai” akhirnya tak kuasa menahan sesak yang hendak tumpah. Tangisnya pecah. Dia rebah di bahu saya sambil tak sudah-sudah merutuk dan merampai.
“Sampai hati orang-orang di atas sana menekankan, mementingkan aku lebih dari yang lain. Sampai hati….”
Kemudian saya habiskan juga secawan kopi suam yang ada di tangan.
Lumayan untuk melepas dahaga.
Biodata Penulis
Ellyzan Katan adalah alumni Universitas Islam Riau Pekanbaru. Menetap dan bekerja di Ranai, Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Bisa dihubungi di tanjakqu@gmail.com.