Posted on: 6 January 2020 Posted by: Comments: 415

Saya sudah berada di Ranai Square sepuluh menit sebelumnya.. Lewat Whatsapp, kami sudah sepakat bertemu pukul tiga belas lewat tiga puluh menit. Sambil menunggu beliau, saya keluarkan laptop dari tas biru yang sudah memacari punggung saya selama empat tahun itu. Membuka beberapa dokumen yang mesti diselesaikan. Pelayan berjilbab coklat datang membawa nampan hitam. Tangannya mengambil dua gelas kopi bekas pengunjung sebelumnya. Tak sedikit pun ia memandang ke arah saya, termasuk saat menanyakan pesanan. Teh hangat saja, ucap saya. Memori masa dulu sempat singgah di pikiran saya mengenai tempat ini. Ranai Square dulu ramai dikunjungi karena selain fasilitas minum dan makan yang enak juga memberikan suguhan karaoke kepada pengunjung dengan daftar lagu yang bisa dibilang lengkap. Seingat saya tidak ada tempat yang model begitu pada masa dulu. Namun tempat itu kini layaknya tempat singgah untuk ngopi sekejap yang tidak ramai-ramai amat. Pas untuk mencari ketenangan. Beliau belum datang, teh sudah terseduh di atas meja. Satu per satu motor datang, dari segi tampang memang tidak ada yang menyerupai. Saya beralih ke layar laptop berjalan-jalan di dunia maya.

Kalau tidak salah, suara motor untuk yang kelima kalinya barulah nampak beliau. Saya pun memberi kode kepadanya. Sesampainya di hadapan, saya langsung menyalaminya yang pada hari itu memakai baju berwarna biru cerah serta perut buncit yang menyertai. Ia lebih suka meminum kahwa saat pelayan berjilbab coklat kembali menghampiri meja kami. Sebenarnya saya tidak tahu harus memulai dari mana dan memang tanpa persiapan apa-apa. Hanya bermodalkan rasa ingin tahu saja.   

Orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Jabai. Tidak jauh dari nama aslinya, Jabaruddin Yahya. Ternyata beliau juga masih memiliki tali darah dengan B. M. Syamsuddin, sesepuh sastra di Natuna yang telah wafat itu. Pak Jabai bisa dibilang sebagai seniman senior di Natuna. Sebab dalam perjalanan hidupnya ia bersinggungan langsung dengan teater tradisional Mendu.

Saya meminta beliau sedikit banyaknya menceritakan pengalaman kesenian bersama Mendu. Hal ini saya kerjakan untuk melengkapi riset kecil-kecilan terhadap Mendu untuk dijadikan sesuatu yang masih saya rahasiakan. Mulailah ia bercerita tentang bagaimana masa kehidupan Mendu pada masa beliau. Turun naiknya minat masyarakat terhadap Mendu. Transformasi dari masa ke masa, apa yang berubah dan apa yang bertahan. Dengan tampangnya yang serius, sesekali mengembuskan asap rokok ke muka saya, ia juga menjelaskan mana yang harus ada, mana yang menjadi ciri khas.

Beliau yang sempat menjadi pimpinan di Sanggar Semadun Dewa di Sedanau, saat ini ia diminta menjadi penasihat Mendu dan khalifah (sutradara) walaupun Pak Jabai tidak aktif lagi. Ia menunjukkan kepada saya beberapa video singkat penampilan Mendu di Sedanau setahun yang lalu. Saya langsung spontan meminta ia mengirimnya. Sebuah video yang berharga. 

Kira-kira habis tiga batang rokok dan setengah kahwa tersesap, semua cerita Mendu yang saya butuhkan sudah terangkum dalam video berdurasi empat puluh lima menit. Lalu obrolan kami berjalan ke perihal lain.

Saya mengetahui beliau juga pandai bersuluk. Sastra lisan Natuna yang sempat populer pada masanya. Suluk dapat dikatakan hanya dimiliki Natuna di antara daerah lain. Suluk hampir mirip dengan syair. Dengan susunan rima a-a-a-a tersusun atas empat baris dalam beberapa bait. Suluk lebih terpusat pada menceritakan suatu kegiatan atau menceritakan satu tokoh. Dan yang membedakan bahkan cukup sulit untuk dipelajari, yaitu cara melantunkannya yang tidak semua orang bisa.  Pak Jabai sudah sering menuliskan suluk pada acara pernikahan atau kenduri lainnya. Suluk tidak diiringi musik, jadi yang didengar orang-orang hanya suara khas Pak Jabai. Ia sempat tampil di salah satu acara yang dihadiri oleh tokoh tokoh penting dalam bidang kebudayaan. Selepas selesai membacakan suluk, ia dihampiri oleh para tokoh penting tersebut dan mendapat apresiasi yang bagus. Lalu mereka mengatakan bahwa suluk merupakan sesuatu yang berbeda dengan sastra lisan lainnya. Belum pernah mereka dengar. Mesti dilestarikan, mereka berucap. Pak Jabai menatap saya dengan raut wajah yang sedih. Belum ada respon yang baik dari birokrasi. Saya hanya menganggukkan kepala dan langsung menyeruput teh yang sisa setengah. Kepiawaiannya menulis dan membaca suluk memberikannya rezeki dari orang-orang penting yang memerlukan jasa itu. Orang-orang luar tidak mencari hal-hal yang berbau modern jika datang ke tempat kita ini, mereka mencari apa yang khas dari daerah ini. Dengan tegas ia mengatakannya.

Suluk sebagai sastra lisan Natuna yang memiliki khasnya sendiri sayang bila dibiarkan begitu saja. Saya tidak berniat untuk mempelajarinya memang, tapi saya mencoba mendengar bagaiamana suara dari penutur suluknya langsung akan seni yang sudah ia pegang lama tersebut. Apalagi, kalau tidak salah, hanya ia sendiri penuturnya. Semua tergantung bagaimana kita menjaga dan melestarikannya.

Ranai, 2 Januari 2020  

Uncategorized

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.