Kali ini hujan turun rintik-rintik, membasahi setiap wajah yang terkena percikan air. Di halaman rumah tampak seorang anak kecil berumur tujuh tahun sedang berlarian, meloncat-loncat kegirangan.
“Adek, udah dulu main hujan-hujanan, nanti sakit!” perintah Fea pada Adiknya.
“Masih belum, Kak. Masih seru ….”
“Adek …,” seru Fea sekali lagi. Tapi, tak ada jawaban yang diberikan. Segera ia langkahkan kakinya ke luar. Namun, seseorang menahannya.
“Nak, jangan pergi. Nanti kamu akan kecewa!”
Fea mengerutkan dahinya dan berkata, “Ibu? Maksudnya apa?”
“Ikut Ibu, Nak.” Ditariknya tangan Fea menuju sebuah ruangan yang tak asing baginya, ini adalah ruangan favorit baginya. Ketika ia akan bisa melihat wajah Adiknya sewaktu pagi tiba; wajah yang tak bergairah untuk bangkit dari ranjang lebar di kamar itu. Sekilas, senyumnya kembali terbit.
“Kenapa Ibu mengajakku ke sini? Lihat, di luar hujan sedang turun. Kalau kita tidak menyuruh Adik masuk, maka ia akan sakit!”
Ibunya lantas menepuk-nepuk lembut ranjang, menyuruh Fea untuk ikut duduk di sampingnya. Fea pun mengikuti arahan yang diberikan oleh Ibunya. Kini Ibunya terlihat sedikit gusar. Sepertinya ada hal yang ingin ia sampaikan pada Fea kali ini.
“Dengarlah, Nak. Kali ini akan Ibu ceritakan padamu, sebuah cerita yang sudah dua tahun belakangan ini coba Ibu tutupi darimu.” Ibu mulai berbicara, menandakan bahwa Fea harus benar-benar memperhatikannya.
“Apa itu, Ibu?”
“Intinya, Adikmu itu telah tiada.”
Fea tampak menahan napasnya, mendengar kata-kata dari Ibunya itu sungguh tidak masuk akal. Pasalnya, baru saja ia melihat Adik semata wayangnya itu bermain dengan hujan di halaman rumah.
“Hahaha … Ibu bercanda kok gitu amat, sih?”
“Ibu tidak berbohong, Fea. Adikmu benar-benar sudah meninggal.”
Dunia terasa terhenti, rasanya tak ada lagi yang mampu membawa arus deras yang berdesir lagi dalam kehidupan Fea. Kenyataan apa ini? Apakah yang dikatakan Ibunya benar? Segera ia bangkit dan berjalan ke arah halaman rumah. Nihil, tak ia temukan lagi Adiknya. Masih mencoba mencari; setiap sudut ruangan ia susuri dengan cermat, tapi tetap usahanya sia-sia.
“Sebenarnya Ibu menyuruhnya bersembunyi dariku, bukan?” tanya Fea cemas beriringan dengan air matanya.
“Tidak, Nak. Adikmu memang sudah meninggal dunia sejak dua tahun yang lalu karena tertabrak oleh sebuah mobil. Ibu tidak berbohong, Nak.”
“Lantas, apa yang selama ini aku lihat?
“Apa yang kamu lihat sebenarnya adalah apa yang terlintas di pikiranmu sendiri. Semua itu karena waktu yang telah mengubah segalanya, menjadikanmu melupakan kenyataan. Membuatmu lupa, bahwa adikmu sudah lama pergi. Sadarlah, Nak!”
“Maksud Ibu selama ini aku hanya berhalusinasi belaka? Apa yang aku lihat selama ini sebenarnya sudah lama hilang?”
“Benar, Fea. Jangan kecewa, jangan menangis. Ini semua adalah takdir Tuhan terhadap waktu yang kamu lalui, Nak.”
“Ibu ….” Fea memeluk Ibunya dengan erat bersama dengan air matanya yang kian mengucur deras.
-Tamat-