Aku memandangi lekat-lekat lukisan yang dipajang di sudut pustaka sekolah, lukisan vas bunga yang pecah, kaktus yang bercerai-berai dari tempatnya, serta tanah yang berhamburan di atas keramik putih. Lukisan yang sederhana namun memiliki makna yang dalam bagiku.
“Ah, seandainya dia disisiku saat ini, seandainya dia bisa hidup lebih lama, seandainya…” aku hanya bisa berandai-andai, meski sejujurnya penyesalan itu tak dapat mengganti dosaku pada pemilik lukisan itu.
“Kenapa, Bell, melamun gitu?” ucap Cindy. “Isa lagi? udahlah Bell, biarkan ia tenang di alamnya”
Ya, Cindy-lah yang paling mengerti aku saat ini, hanya dia yang tahu mengapa aku dulu begitu membenci sosok Isa. Kebencian yang sesungguhnya tak beralasan. Menurutku Isa adalah lelaki yang.. ah, sama sekali tak pernah terpikirkan dalam kamus hidupku, namun saat ini, aku kalah akan logika bodohku, saat ini Isa-lah yang paling aku butuhkan. Aku masih mematung memandangi lukisan itu. Aku rindu cara Isa menangkupkan tangan meminta maaf sambil berusaha menghapus cat di bajuku. Meski tak mungkin.
Cindy mengubah posisi duduknya sambil membalikkan halaman bacaan Teori Relativitas pada buku fisikanya. “Bella, sampai kapan kamu kayak gini?, setiap hari ke perpus cuma buat lihat lukisan?”
“Tak tahulah, Cin” keluhku putus asa. “Cuma lukisan ini yang bisa aku lihat sekarang. Karya Isa yang terakhir” pikiranku kosong entah kemana, lebih pada merasakan degup sesal tak terperi.
“Dari dulu, waktu SMP Isa memang tak pernah berhenti memoles krayon, kami selalu kalah kalau soal praktik menggambar. Isa juaranya. Kelas penuh dengan gambar anatomi tubuh manusia, hewan dan beberapa….” cerocos Cindy.
Cepat aku menatap Cindy secara ketus, mengharap ia menghentikan ceritanya yang membuat aku semakin pilu.
“Eh, maaf”.
Tak ada yang istimewa tentangnya, Isa sama sekali tak pernah mencoba mencari perhatianku juga perempuan lain di SMA ini sehingga aku tak mengenalnya, aku tak tahu secara detil tentang Isa, hanya saja aku pernah mendapatinya di Aula Seni Rupa, sendiri, duduk berjam-jam ketika pulang sekolah sampai Asar tiba. Memegang kuas dan menenteng cat menjadi ciri khasnya saat istirahat belajar. Jarang ke kantin. Berlari menuju ruang seni rupa, seolah tak ingin sedikit pun waktu terlewatkan sia-sia untuk menggoreskan kuas meski sedikit.
Namun Isa tak terlalu penting bagiku, masih banyak yang lebih respek terhadapku termasuk kakak-kakak senior di SMA ini yang selalu merebut perhatianku, menyapaku ramah meski sekadar lewat depan kelas. Isa? sama sekali tak tebersit! Mungkin itu sebabnya aku tak mengenalnya, atau aku yang terlalu naif dari sekian ratus siswa yang lebih menarik perhatianku? Entahlah!
Saat dia memecahkan vas bunga kelompok itulah saat pertama kali aku bicara padanya. Ketika hujan dan petir menyambar, Rio dan Isa setengah berlari, berlawanan arah dengan kami. Aku, Yoga, Siska serta Cindy menuju kelas. Rio terpeleset dan Isa ikut terjatuh kaleng cat yang tak tertutup rapat itu menghambur di bajuku, hampir setengah kaleng. Mukaku coreng-moreng warna merah. Aku terkejut hebat! vas yang kupegang itu melompat dari genggamanku. Kejadian di lorong sekolah yang buat aku naik pitam, emosiku tak terbendung, marah bukan main, aku sangat tak terima dengan perlakuan ini. Meski dia sudah berulang kali minta maaf atas ketidaksengajaannya.
“Maaf, maaf, aku tak sengaja, aku tersandung kaki Rio” sambil menangkupkan tangan serta berusaha menghapus cat itu dengan tangannya, aku menampik cepat.
“Seenaknya kamu minta maaf.”
PLAAKK…
Tangan ini melayang di pipi gelapnya, kutampar sangat keras, tanpa aku memandangnya sebagai sahabat, bagiku Isa adalah biang kegagalan dalam ujian praktik muatan lokal ini. Vas bunga yang kubawa saat ini pecah berantakan, tertimbun warna merah, kaleng cat itu menggelinding lalu berhenti. Sisa cat kusiramkan di saku bajunya sebagai ajang balas dendam. Bahkan Siska dan Yoga yang dari tadi menyaksikan menganggap aku terlalu berlebihan, Isa tak sengaja menumpahkannya, Isa hanya tersandung kaki Rio, Rio terpeleset dan kakinya menyilang dan keduanya sama-sama jatuh begitulah kejadiannya sebab plafon sekolah yang bocor itu akan diperbaiki setelah libur sekolah nanti.
“Kamuuuuuhhhh!!!!!”
“Maaf, maaf” entah berapa kali dia minta maaf, sambil memegang pipinya kesakitan.
“Kamu pikir vas ini murah!!” kataku tanpa adab.
“Aku janji aku ganti kerugian kalian, tapi gak sekarang, aku..”
“Besok kamu belikan vas bunga yang persis seperti ini, coraknya sama, lekuk dan bahan dasar yang sama”
“Besok? Terus? A’ a ..akuh..”
“Iya besok! Kenapa? Keberatan?!”
“Aku gak bisa janji, mungkin bisa gantinya bulan depan” katanya memelas.
“Sudahlah, Bell, lagi pula itu bukan mutlak kesalahan mereka, kok”. Ucap Cindy.
“Iya Bell, kita bisa iuran lagi buat beli vas bunga ini, lagi pula tugas praktik kelompok ‘kan tanggal lima, kita masih ada waktu tiga hari lagi” Ucap Yoga menimpali.
“Yuk, kita izin guru piket buat ganti bajumu itu” usul Siska.
Aku menolak ajakan Siska masalah ini belum selesai.
Mendapat pembelaan itu lantas tak membuat Isa merasa dibenarkan, sebisa mungkin ia bertanggung jawab atas perilakunya meski di luar kendali dirinya.
“Ini kesalahanku, tapi aku belum bisa ganti secepat itu, mungkin bulan depan” kali ini Isa benar-benar memohon pengertian kelompok kami.
“Sudah kamu gak perlu ganti, Sa,” Siska angkat bicara, “Biar nanti aku minta papaku yang beliin kalau memang Bella keberatan” Lanjut Siska yang buat aku ternganga.
Sejak saat itu aku begitu membenci Isa, kebencian tanpa dasar yang sebenarnya dia tulus memintaa maaf namun tak kumaafkan.
Kejadian ini kuadukan sama papa mengenai hari yang sungguh mengesalkan, mengapa harus ketemu sama makhluk kuas itu. Muak sangat muak. Kuceritakan kronologi kejadiannya saat makan malam keluarga. Papa hanya tersenyum, justru di luar dugaanku papa menasehatiku jauh lebih menusuk, nasehat papa sudah sering kudengar tapi kali ini berbeda “Jangan terlalu membenci seseorang, itu gak baik, karena bisa jadi kamu mencintainya. Juga jangan terlalu mencintai seseorang bisa saja dia jadi musuh terbesarmu nanti, cinta dan benci harus disikapi secara bijak Bella”
“Ah, papa apaan sih. Siapa juga yang cinta sama Isa. Is, amit-amit, deh!” aku bergidik. Mama menimpali. “Maksud papamu itu kamu kudu bijak, sebab cinta dan benci beda tipis, loh. Hati-hati, bisa berubah 180 derajat nanti” ledek mama namun serius. Aku terdiam seakan nasi dalam kerongkonganku menghentikan aliran oksigen.
***
Di sekolah. Di bawah pohon akasia yang meneduhiku dari sengatan matahari, aku duduk sendiri membaca info terbaru dari website sekolah, aku tertegun membaca namaku terpampang dalam daftar siswa yang dapat kesempatan ikut festival pameran bulan depan. Aku ikut lagi festival itu. Semua masyarakat sekolah telah paham akan prestasiku di dunia fesyen. Sebab sudah beberapa kali kusumbangkan piala atas prestasi itu.
Festival tinggal tiga minggu lagi, pihak sekolah tahu jadwal tahunan ini segera menyiapkan segala sesuatunya. Aku dipilih Bu Felly menjadi model busana melayu Natuna, sudah mengukur berat badanku, tinggi, dan jenis kain yang akan aku kenakan nanti pada saat ulang tahun Natuna. Acara tahunan kali ini akan diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata.
Kami calon peserta pameran itu di kumpulkan di basecamp Osis, laki-laki pembawa kuas dan cat itu juga menjadi peserta, Pak Teguh memintanya mempertahankan prestasi yang pernah diraihnya tahun lalu. Setiap hari pulang sekolah ia lakukan itu, bahkan tanpa jadwal latihan pun ia tak pulang, ia begitu tekun menggeluti pekerjaannya. Karakternya yang sedikit tak peduli dengan cewe-cewe yang kagum padanya, ternyata prestasi di dunia lukis membuat ia jadi pusat perhatian, kemana aja aku selama ini?. Ia memandangku tersenyum. Manis sekali, warna kulitnya tak melunturkan pesona jiwa besarnya. Sangat rendah hati. Aku menunduk malu. Malu pada diri sendiri yang terlalu angkuh. Ternyata Isa bukan siswa sembarangan.
Di lain hari. Pulang sekolah. Isa masih sibuk dengan kuasnya. Masih dengan sikap yang sama; tak peduli. Tak mau tahu aku yang saat itu meliriknya di balik jendela. “Salut aku liat Isa, bener-bener menjaga anamah Pak Teguh. Obsesinya sampai tingkat Provinsi Kepri, loh, Bell”. Celetuk Cindy.
Biasanya mendengar nama Isa telingaku berdiri. Aku paling anti mendengar nama itu, tapi kali ini aku harus berdamai dengan diriku sendiri tak boleh terus membenci orang yang sejujurnya tak sengaja membuat kesalahan, sebab kalimat papa malam itu melekat dalam benakku, aku takut kalau semua akan berbalik padaku.
Tak mungkin juga terus-terusan marah bukan? Cindy adalah teman sekelasnya saat di SMP dulu, sehingga dia sering mengatakan perihal Isa pada Gank kami. Juga tentang komik-komik buatannya, tentang kesederhanaanya, rajin membantu keluarganya, tentang dia yang selalu menangkupkan tangan saat berkenalan dengan perempuan. Rajin azan di masjid, bahkan menjadi bilal saat ramadhan. Mungkin diam-diam Cindy suka padanya?. Benar kata Cindy. Isa adalah remaja yang langka untuk saat ini, mungkin dia satu-satunya yang seperti itu. Mungkin pengaruh doktrin Cindy. Isa selalu menjadi pesona magnetik tersendiri bagiku. Aku kagum!
***
Festival itu pun digelar, dibuka oleh gubernur Kepri yang baru saja dilantik, acara semeriah itu berlangsung selama tiga hari, termasuk pameran seni budaya dari semua kalangan pelajar, mahasiswa dan masyarakat.
Kuliner Melayu-Natuna, tabel mando, kernas dan tembekok jadi makanan yang tak diragukan lagi untuk dipresentasikan ibu-ibu PKK.
Festival baju adat Melayu-Natuna menampilkan dari masing-masing sekolah tingkat SMA, dari perancang busana ternama. Kini giliranku berjalan di atas catwalk dengan penuh percaya diri mengenakan baju kebanggaan Melayu-Natuna, berkilauan emas melalui lighting pentas yang memukau, hiasan kepala yang menjadikanku seolah tuan putri yang akan dipersunting putra mahkota. Ratusan kilatan kamera wartawan membidikku untuk diliput di media masa dan cetak.
Usai penampilan aku mengelilingi pameran. Cagar budaya alam Natuna banyak ditemukan artefak terutama yang berjenis wadah dari bahan porselin keramik berasal dari China Daratan peninggalan Dinasti Ching, Ming, Yuan, bahkan masa Tsong. Semua dipajang indah, Natuna selain kaya migas juga kaya cagar budaya terutama keramik-keramik peninggalan zaman dulu.
Selain itu seni fotografi bawah laut, pemandangan wisata bahari Natuna, batu-batu se-gede raksasa seperti jatuhan benda langit, menopang antara satu batu dan batu lainnya merupakan desain holistik yang sempurna dari sang Mahaagung semua terpampang di astaka, memperlihatkan eksotis terumbu karang yang indah dan potensi laut yang menjanjikan, miliaran jenis ikan, yang setiap saat jadi incaran negara asing, mencuri ribuan ton ikan Natuna hampir setiap hari. Natuna adalah surganya bagi penggemar Snorkling. Surganya bagi fotografer. Aku mengelilingi semua pameran itu. Natuna tak dikenal di Indonesia tapi jadi primadona bagi bangsa asing.
Aku menghentikan langkah saat melihat pigura silver berukir bunga, di secuil kanvas terdapat siluet merah orange memadukan warna yang serasi dan efek vignetting pada sisi gambar tampak sedikit gelap namun menantang imajinasi, sekilas misterius, namun memiliki makna lukisan yang nyaris abstrak, menggambarkan vas bunga putih berukir manik-manik kuning keemasan seperti gucci, bunga kaktus di lukisan itu berhamburan. Vas bunga yang pecah terhempas di sejumlah keramik. Di sudut lukisan itu terukir nama pembuatnya, tiga huruf. Isa. I-S-A, pelukis itu. Indah sekali, bahkan sangat beda dari lukisan yang ada.
Membaca namanya aku tersenyum, Jadi ingat kata papa. Tentang benci dan cinta. Ya, benar ternyata kita tak bisa mendikte seseorang, menilainya secara tak adil hanya karena penampilan luar. Tanpa kita mengenalinya lebih jauh. Aku semakin tersadar akan diriku, dibanding Isa aku bukan siapa-siapa. Aku hanya dikagumi teman-teman sekolah, namun tidak dengan Isa. Isa tak pernah mengagumiku sedikit pun. Pribadi Isa sungguh abstrak seperti lukisannya, sosoknya yang tak kukenal dan asing kini menjadi hal yang sangat aku cari-cari. Ternyata Isa adalah mutiara yang tak pernah menampakkan kilaunya tertangkup kerang dan bersembunyi di balik terumbu-terumbu karang di bawah laut, atau seperti kawanan penyu yang bersarang di Pulau Panjang, Teluk Buton, Natuna, bertelur dan beranak pinak di kubangan pasir.
Kini cahayanya menerangi SMA ini, mengharumkan dan meningkatkan status di mata daerah sebab SMA yang satu-satu pesertanya terpilih menjadi peserta provinsi dalam seni pameran lukisan adalah pemilik lukisan itu.
***
Aku jadi tak sabar untuk segera tiba di sekolah, mengucapkan selamat atas kesuksesaannya untuk mewakili sekolah sampai tingkat provinsi. Pagi ini ada semacam energi yang luar biasa, kacamata oval yang sebulan lalu tergeletak di meja belajar segera kupakai, selama ini aku hanya menggantinya dengan lensa kontak. Ada hal spesial, entah karena aku kagum dengan hasil kerja kerasnya yang nyaris tak pernah makan siang hanya sekadar mencoret kuas, atau mungkin virus doktrin Cindy dan papa benar-benar menjangkitiku dengan sempurna? Entahlah! Yang jelas pagi ini aku akan tersenyum semanis mungkin sebab selama ini hanya Isa yang tersenyum kepadaku tanpa aku membalasnya. Dan setelah tiba di sekolah aku terlebih dulu menyapanya.
Berulang kali aku berputar di kaca setinggi tubuhku, aku merasa selalu ada yang kurang saja, kucoba putar sekali lagi, baju sudah rapi, gaya rambut bob sepundak juga ok, tas selempangku? okelah. Mengucap salam dan mencium tangan mama dan papa yang sama-sama mau ke kantor. Kunyalakan motor matic biruku, aku ingin segera ke sekolah secepat mungkin.
Meski agak laju dari biasanya, aku sempat gelagapan setelah disalip beberapa motor polantas yang melaju dan ambulans yang begitu sibuk menyalakan sirine sepanjang jalan menuju rumah sakit. Seperti ada kecelakaan di ujung jalan sana.
Sampai di sekolah, kulirik arloji hitam yang melingkar di tangan kiri. Jam segini biasanya Isa sudah datang. Tapi kemana dia kok tak terlihat?.
Bahkan setelah istirahat pertama aku tak melihat Isa. Demi mengobati rasa penasaran kulirik Basecamp Osis kosong. Mungkin di ruang Seni Rupa, lengang, hanya setumpuk kuas dan cat saja. Perpus? nihil. Kuhampiri Cindy.
“Cin, tahu Isa?”
“Tumben tanya Isa, ada angin apa, nih?”
“Eh, ni anak malah balik tanyak. Tahu, gak? Penting nih!”
“Gak sekolah! Nona cantiiikkk! Ke kantin yuk laper, nih” Cindy menarik tanganku. Aku bergeming.
“Seriuuss Isa gak sekolah?” tanyaku lagi.
“Iyap!, kenapa, sih?” kali ini Cindy tampak bengong. Melepas tanganku dari genggamannya “Ni, ya, kukasih tahu, tadi Isa ke rumah, buru-buru banget. Pagi ini dia ke rumah sakit lagi. Oya, lupa dia nitip amplop buat kamu, bentar ya kuambil dulu” lalu Cindy menyodorkan amplop itu setelah dari kelas, sesegera mungkin kubuka, ada selembar surat dan uang ratusan ribu.
“Maaf lancang,
aku cuma mau kembalikan uang ini sebagai ganti vas bunga yang aku pecahkan bulan lalu.
Sebenarnya aku ingin membeli vasnya pagi ini sambil menuju sekolah.
Tiba-tiba ayah nelpon dari rumah sakit, dan aku harus segera kesana.
Maaf ya, sudah bikin kamu marah, semoga uang ini cukup buat beli vas dan seragam barumu”
Isa ..
“Sudah dua hari ibunya dirawat, tadi malam aku dan mama jenguk kesana dan pagi ini juga mama ke sana lagi. Ibunya sakit parah, Bell. Kasihan dia tadi malam sedih banget.”
“Makanya dia mati-matian buat dapat juara lukis, harapannya biar dapat hadiah uang banyak, Karena ibunya memang sering kambuh. Pernah dia curhat ke aku untuk mengganti seragam sekolahmu, Bella. Dia gak mungkin minta uang sama ibunya, kondisi kesehatan ibunya semakin buruk. Dan Isa tidak mungkin membebani pikiran ibunya itu” imbuh Cindy panjang lebar.
Mendengar penjelasan itu serta-merta air mataku meleleh, aku orang paling berdosa. Ibunya sakit tapi sempat-sempatnya ia berikan uang ini. Kenapa gak buat berobat saja?. Setega itukah aku? lagi pula aku sudah melupakan kejadian itu. Kenapa harus diganti?. Membayangkan Isa tidak makan siang berjam-jam di depan kain kanvas. Sedih dan kagum menjadi satu. Selama ini aku salah membencimu Isa, sungguh mulia hatimu.
“Cin, anterin aku ke RS sekarang!”
“Ngapain, Bella, waktu istirahat udah mau habis, sebentar lagi lonceng”
“Pokoknya harus Cin, Isa membutuhkan uang ini buat berobat ibunya. Tolong!” Cindy paling tak tega kalau sudah mendengar kata tolong.
“Ok, ok, yuk kita izin guru piket.” seketika HP dalam saku bajunya berbunyi. Mamanya menelpon.
“Nak, ibu sudah di rumah sakit. sahabatmu Isa, hiks..” menghentikan suaranya di seberang telepon.
“Mama nangis? Kenapa, Ma, Isa kenapa?” Mendengar nama Isa aku menghentikan langkah.
“Isa, kecelakaan”
“Apa! Kecelakaan? Di mana, Ma?!”
“Hah, kecelakaan?” kataku tak sabar dengan obrolan mereka. “Di-loadspeaker, Cin!” lalu Cindy memencet tombol di HP-nya suara mamanya semakin jelas terdengar.
“Iya, kecelakaan. Pas mau ke rumah sakit, dia menghindari pengguna motor yang ugal-ugalan, banting setir terlalu ke kiri lalu menghantam trotoar, terpental kepalanya terantuk pagar besi, darah keluar dari telinga dan hidungnya. Dan motornya ringsek ditabrak mobil box dari belakang, rusak parah. Ibunya langsung pingsan sampai sekarang belum sadar”
“Apa!!” kami terbelalak tak percaya mendengar semua itu.
“Bakda Salat Asar jenazah akan dimakamkan. Kamu cepat ke sini ya, Nak. Mama tunggu.”
Klik.
Jenazah? Sekilas terlihat Cindy shock berat dan menitikan air mata. mataku berkunang-kunang, menahan tubuhku aku tak mampu, tak seimbang. Lalu semua menjadi gelap!
PROFIL PENULIS
Yudhianto Mazdean lahir di lampung 07 februari 1992, besar dan menetap di Natuna, membaca dan menulis baginya semacam candu, karya-karya yang penah di terbitkan berjudul “Angkong” dalam antologi cerpen Natuna. Mimpinya menjadi Novelis dan keliling dunia. Beberapa kali mendapat juara kaligrafi tingkat kabupaten. Menjadi ketua OSIS MAN 1 Natuna 2009. Aktif di organisasi ekstra kampus, menyukai lukisan dan sangat menyayangi ibunya.
facebook: Yudhianto Mazdean
Tweeter: @yudhi_mazdean
No hp: 0856 6802 9996 / 0813 7213 6363